March 31, 2010

REVIEW: HOW TO TRAIN YOUR DRAGON 3D




































"The front runner for the best animated film of the year."

Sepuluh tahun terakhir ini era animasi memang sedang dalam masa keemasannya, sebut saja animasi favorit banyak orang seperti Wall-E, Up, Finding Nemo, Ice Age, Shrek, Monster's Inc, Kung Fu Panda, dan judul yang lainnya. Kali ini giliran How To Train Your Dragon, sebuah animasi terbaru dari DreamWorks Animation yang akan masuk kedalam list favorit itu. Menurut saya pribadi, ini adalah animasi 3D terbaik yang pernah saya tonton sejauh ini. Tadinya saya skeptis dengan film ini, saat menonton trailernya pun saya kurang tertarik. Buktinya, saya sedikit terlambat dalam mereview filmnya disini. Ternyata saya salah, film ini bagus dan wajib anda tonton. Aspek 3D dalam film ini sangat indah dan terasa, didukung juga dengan jalan cerita yang bagus, gambar animasi yang menarik, komedi yang berhasil membuat penonton tertawa dan sebuah pesan baik yang tersimpan didalamnya.

Bercerita tentang Hiccup (Jay Baruchel) yang mempunyai mimpi untuk membunuh naga. Hal ini wajar saja, karena bangsa Viking memang dikenal karena keahliannya memburu naga-naga yang suka mencuri makanan dari desa mereka. Ayah Hiccup, Stoik (Gerard Butler) adalah kepala pembunuh naga yang paling ahli dan terpandang. Akan tetapi sang ayah selalu tidak menanggapi keinginan anaknya tersebut, Stoik selalu mempermasalahkan fisik Hiccup yang kecil dan kurus, padahal pria Viking lainnya bertubuh tegap dan kekar. Hiccup pun semakin menumbuhkan keinginannya itu, karena menurutnya dengan membunuh naga ia akan mendapatkan banyak teman dan juga seorang kekasih. Hiccup tidak tinggal diam, suatu hari ia berusaha untuk memburu naga dan secara tidak sengaja menembak seekor naga yang sedang terbang. Kebetulan naga tersebut adalah Night Fury, seekor naga misterius yang konon paling ditakuti oleh bangsa Viking.

Two tumbs up untuk DreamWorks Animation karena telah berhasil membawa animasi 3D selangkah lebih depan dibanding pesaingnya yang lain. Gambar How To Train Your Dragon sangat indah disaksikan dibalik kacamata 3D, terlihat begitu real dan eye-candy. Tidak hanya dari segi 3D yang mampu dibanggakan, cerita film ini pun sangat manis dan menarik untuk ditonton. Apalagi sang naga pemeran utama bentuknya juga lucu sekali, sekilas kalau dilihat mirip dengan tokoh Stitch dalam animasi Lilo & Stitch. Hehe.. Saya tidak berekspektasi tinggi pada saat menyaksikan film ini, maka saya sangat puas dengan hasil yang disajikan. Bahkan saya akan memasukkan film ini kedalam daftar animasi favorit saya. Durasi yang tidak terlalu panjang menurut saya juga menjadi salah satu faktor keberhasilan film ini, karena ceritanya jadi terasa pas dan tidak bertele-tele. The best 3D animation I've seen so far! :)





March 28, 2010

ACTOR: JAMES FRANCO























James Edward Franco lahir pada tanggal 19 April 1978 di Palo Alto, California. Aktor asal Amerika ini memulai karir di dunia perfilman pada tahun 1999 di serial televisi Freaks and Geeks (NBC). Film pertama yang dibintanginya adalah Whaterver It Takes (2000). Nama James Franco mulai dikenal sejak ia main dalam serial televisi James Dean pada tahun 2001 dan berhasil membuahkan piala Golden Globe dalam kategori Best Actor - Television. Ia kemudian menghadiahkan piala pertamanya ini kepada sang ibu tercinta. Karirnya kian menanjak dan James selalu mengambil peran-peran yang lekat di ingatan penonton, seperti menjadi gigolo dalam Deuces Wild atau remaja kecanduan narkotika dalam City by the Sea. Kedua perannya dalam film ini didapat atas rekomendasi Robert De Niro yang terkesan dengan aktingnya dalam serial James Dean.

Sebuah peran besar sebagai Harry Osborn dalam Spider-Man (2002) langsung membuat namanya meroket seketika. Ia pun bermain dalam trilogi Spider-Man karya Sam Raimi. Meskipun awalnya ia mengikuti audisi untuk mengisi peran Peter Parker yang kemudian diperoleh oleh Tobey Maguire, tapi sepertinya menjadi sang tokoh antagonis memang sudah jalan keberuntungannya. Seiring dengan karirnya yang semakin menanjak di Hollywood, James terus bermain dalam film seperti The Great Raid, Paint, Tristan and Isolde, Camille, Fly Boys, Annapolis, Nights in Rodanthe, dan lain-lain. Tahun 2008 kemarin ia bermain dalam sebuah film komedi berjudul Pineapple Express bersama komedian Seth Rogen, filmnya sendiri sukses di pasaran. Melalui film tersebut James Franco kembali membuktikan dirinya mampu bermain dalam peran apa saja, termasuk komedi. Di tahun yang sama, ia juga beradu akting dengan aktor senior Sean Penn dalam film Milk. Aktingnya sebagai homosexual di film ini mencuri perhatian dan mampu mengimbangi Sean Penn, ia pun mendapatkan piala dari Independent Spirit Award dalam kategori Best Supporting Actor.
























Tidak cukup hanya dalam bidang akting, James Franco juga rupanya tertarik menulis dan menyutradai film. Ia mengaku memang sudah mengidamkan hal ini sejak dulu. Bahkan ia sekarang sudah mempunyai sebuah rumah produksi sendiri yang bernama Rabbit Bandini Productions. Hebat! Selain dalam bidang perfilman, James ternyata pandai melukis. Ia sejak dulu selalu mengisi hari-harinya dengan melukis, sampai sekarang pun jika ada waktu senggang ia selalu melukis. Tidak tanggung-tanggung, hasil karya lukisannya sudah banyak yang dipajang di Glu Gallery, Los Angeles. Memang tidak salah kalau James mendapat predikat '50 Hottest Bachelors' oleh People Magazine tahun 2004, sudah ganteng, pintar akting, berjiwa seni tinggi pula. Hehe..

Tahun 2010 James Franco mengambil lima proyek film sekaligus yaitu Howl, Date Night, Eat Pray Love, Your Highness, dan 127 Hours. Dengan kualitas akting diatas rata-rata, kepribadian yang baik, dan tetap mengambil peran yang bervariasi, James Franco akan semakin bersinar! :)
























Random Facts:
* Dipanggil dengan nama Ted semasa SMU dan mendapat julukan 'Best Smile' pada masa bersekolah.
* Memiliki darah campur aduk, karena sang ayah keturunan Portugis - Swedia dan sang ibu keturunan Rusia - Yahudi.
* Pertama kali merasakan keluar negeri adalah pada saat syuting film The Great Raid (2005) di Australia.
* Idola masa kecilnya adalah Tony Hawk.
* James Franco tidak suka memakai jam tangan.
* Di drop out dari kampusnya di UCLA, lalu orang tuanya tidak memberikan uang lagi, kemudian ia bekerja di McDonalds.
* Mengidolakan Robert De Niro, Al Pacino, Jack Nicholson, Marlon Brando, dan Catherine Keener.

"The tip that I’ve gotten for success in movies and other areas is to not stop doing whatever got it good. For myself that’s working as hard as I can on the roles and staying focused on the acting."

"I think I’m just a mild-mannered guy."

"When I was a child, I wanted to be an actor, but I had really bad buckteeth. I didn’t want to get braces, but my mom said I couldn’t be an actor if I didn’t get the braces. So, I got the braces."

"My motto is: I work hard, whether or not it goes well. I try to stay away from a vengeance mentality. Just do my work and move on."





March 20, 2010

REVIEW: HACHIKO: A DOG'S STORY




































"A true story of faith, devotion, and undying love."

Film ini diangkat dari sebuah kisah nyata di Jepang pada tahun 1920an. Seekor anjing jenis Akita bernama Hachi yang setia menunggu pemiliknya yang telah meninggal dunia, Professor Ueno, di depan stasiun kereta api Shibuya setiap hari selama 9 tahun. Di Jepang cerita ini sangat terkenal, sangking terkenalnya sampai dibangun sebuah patung Hachi tepat di tempat dimana ia setiap hari menunggu di depan stasiun tersebut. Banyak turis yang datang kesana hanya untuk berfoto dengan patung Hachi. Cerita ini memang dapat membuat setiap orang yang mendengarnya terharu, dimana seekor anjing kesetiaannya dapat melebihi seorang manusia. Di Jepang, cerita tentang Hachi juga telah banyak dijadikan film dan kartun, sampai akhirnya sekarang Hollywood pun membuat film yang diadaptasi dari cerita ini.

Bercerita sama dengan kisahnya, film ini mengenalkan kita dengan Hachi, seekor anjing jenis Akita yang sangat lucu dan manis. Hachi tidak sengaja bertemu dengan Professor Parker Wilson (Richard Gere) di stasiun kereta api ketika sang Professor sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Parker berusaha mencari pemilik Hachi dengan menempelkan brosur di sekitar tempat itu namun tidak ada yang mengakui Hachi. Akhirnya Parker yang memang sudah jatuh hati dengan Hachi memutuskan untuk merawatnya di rumah. Awalnya sang istri, Cate (Joan Allen) tidak setuju dengan niat ini, karena ia merasa akan repot sekali memelihara anjing, akan tetapi setelah melihat suami dan anaknya sangat menyayangi Hachi, Cate pun mengalah. Hachi adalah seekor anjing yang sangat pintar, setiap hari ia mengantar Parker ke stasiun lalu kembali lagi kesana pada pukul 5 sore untuk menjemputnya. Ini Hachi lakukan setiap hari selama 2 tahun lamanya. Sampai suatu hari sang Professor tak kunjung pulang, Hachi menunggu dan selalu menunggu tapi Parker tak pernah datang lagi. Hachi yang sangat sayang kepada Parker akhirnya selalu menunggu di stasiun tersebut setiap hari selama 9 tahun!!! Orang-orang di sekitar stasiun sudah mengenal Hachi, seperti penjual hot dog, petugas stasiun, dan yang lainnya. Mereka kasihan melihat Hachi, lalu memberinya makan dan menyapanya setiap hari. :'(

Saya sudah menonton film ini dua kali dan film ini berhasil membuat saya menangis hebat. Saya memang tidak kuat bila menonton film-film sedih, apalagi yang bertemakan binatang. Saya pernah memelihara dua ekor anjing jenis pom (Mickey dan Molly), lalu yang terakhir saya memelihara seekor anjing jenis pug (Hiro) yang sangat lucu. Semuanya sudah tidak ada lagi sekarang (hikz), ketika menonton film ini saya menjadi teringat akan anjing-anjing peliharaan saya. Menurut saya, setiap orang yang pernah memelihara binatang pasti akan sangat terharu menonton film ini, apalagi kalau mengingat film ini diangkat dari kisah nyata, saya jamin air mata anda akan banjir. Pemilihan Richard Gere sebagai bintang utama disini saya rasa tepat sekali, aktingnya sangat membaur dan cocok. Saya tidak bisa membayangkan bila karakter Professor Parker diperankan oleh aktor lain, emosinya pasti tidak akan sehebat ini. Ekspresi anjingnya juga sangat memelas, hebat! Menurut saya Hachiko adalah salah satu dari sekian banyak film bertema binatang yang wajib anda tonton.





March 14, 2010

REVIEW: IT'S COMPLICATED

























"First comes marriage. Then comes divorce. And then..."

Tadinya saya kurang tertarik untuk menyaksikan It's Complicated di bioskop, karena saya kapok dengan tema percintaan orang tua yang biasanya tidak terlalu kena 'feel'nya dengan saya dan lumayan membosankan. Akan tetapi kemarin saya mendapatkan kesempatan untuk ikut dalam media screening film ini di Plaza Senayan dan 'ohh my Gooddddd' ternyata filmnya menyenangkan sekali! Saya bahkan sampai memutuskan akan mengajak pacar saya kembali menonton film ini minggu depan ketika filmnya sudah tayang di bioskop. Sebetulnya kalau dilihat dari sutradaranya, Nancy Meyers, saya sudah sedikit menduga film ini mungkin akan menghibur seperti film-filmnya terdahulu, seperti The Holiday(2006), Something's Gotta Give (2003), What Woman Want (2000), dan The Parent Trap (1998). And I was right, the movie was so funny and entertaining! Ibu saya yang kemarin ikut menonton bahkan tertawa lebih keras daripada saya. Sejak awal hingga akhir, humor dalam film ini mampu membuat kami berdua tertawa terpingkal-pingkal, menurut saya ini adalah sebuah hal yang hebat karena meskipun film ini mengusung tema percintaan orang tua, namun tetap bisa dinikmati oleh saya yang masih 20-an.

Bercerita tentang Jane (Meryl Streep) seorang wanita pemilik toko roti yang sudah bercerai dengan Jake (Alec Baldwin) sejak sepuluh tahun yang lalu. Jake meninggalkan Jane karena wanita yang lebih muda dan kemudian menikah dengan wanita muda tersebut lalu mempunyai seorang anak lelaki. Jake dan Jane pun telah mempunyai tiga orang anak yang semuanya sudah beranjak dewasa, Lauren (Caitlin Fritzgerald) dan tunangannya Harley (John Krasinski) sudah memiliki rencana untuk menikah, lalu Gabby (Zoe Kazan) yang akan keluar dari rumah dan tinggal sendiri, lalu Luke (Hunter Parrish) yang sedang menunggu upacara wisuda beberapa hari lagi. Ketika sedang berada di New York untuk persiapan wisuda Luke, Jane dan Jake tidak sengaja bertemu di bar yang berakhir di atas ranjang. Hal ini kemudian berlangsung terus menerus. Jane merasa bersalah karena Jake telah mempunyai seorang istri dan ini menempatkan dirinya di posisi sebagai selingkuhan. Sebuah hal yang lucu sekali yaa berselingkuh dengan mantan suami sendiri? Di sisi lain, Jane yang sedang merenovasi rumahnya berkenalan dengan seorang arsitek baik hati yang ternyata naksir dengannya, Adam (Steve Martin). Hal ini lah yang membuat Jane bingung, meneruskan perselingkuhan dengan sang mantan suami atau membuka lembaran baru dengan Adam? It's complicated! :p

Saya sangat menyukai film ini dan mungkin perempuan diatas 30 tahun akan lebih menyukai film ini lebih dibanding saya. Sepertinya semua wanita akan menyukai film ini. Saya tidak tahu dengan pendapat para pria, akan tetapi film ini rasanya memang lebih mengangkat humor dari sisi wanita. Jika para pria punya The Hangover, maka wanita boleh menggunakan It's Complicated sebagai jagoannya. Permasalahan disini lebih menyentil permasalah yang sering dialami para wanita. Trust me, you will love it! Memang ketika menjelang akhir, filmnya seperti terasa kehilangan arah, tapi itu sama sekali tidak menggangu mengingat judulnya sendiri mengambil embel-embel 'complicated'. Tawa yang berhasil dihasilkan sejak awal film mampu memaklumi kekurangan itu. Cerita buatan Nancy Meyers ini mengangkat tema yang sederhana seperti halnya film dalam genre sejenis (re: romcom), namun berhasil membawa suguhan komedi yang fresh dan menggelitik, apalagi film ini mempunyai tiga pemeran utama yang memiliki chemistry satu sama lain.

Para pemain utama di film ini bermain apik dan sesuai dengan karakter masing-masing. Rasanya saya sudah kehabisan kata-kata untuk memuji akting seorang Meryl Streep yang selalu bermain baik dalam setiap filmnya. Kita bisa melihatnya bermain serius, kita juga bisa melihatnya bermain lucu. Keduanya bagus. Bahkan diusianya yang sudah pantas dipanggil nenek, ia masih terlihat menarik dan menggoda dalam film ini. Seorang aktris yang luar biasa. Adore her so much! Lalu ada Alec Baldwin yang bermain sangat sangat sangat baik disini. Menurut saya ini adalah salah satu penampilan Alec Baldwin yang terbaik. Begitu juga dengan Steve Martin, perannya disini berbeda dengan peran nyelenehnya dalam The Pink Panther. Disini Steve Martin lebih dengan muka yang serius namun tetap menggelitik perut di setiap kalimat lelucon yang dilontarkannya, ia juga berhasil menumbuhkan sisi simpatik pada karakternya. Ada satu lagi karakter yang sangat mencuri perhatian dalam film ini, yaitu karakter Harley yang diperankan oleh John Krasinski. Ia berhasil tampil sangat lucu dan menghidupkan karakter yang diperankan. Setiap kehadirannya pasti membuat tawa para penonton terpecah. Setelah Away We Go (2009) dan film ini, saya yakin John Krasinski akan semakin mulus berkarir di jalur komedi Hollywood. Tontonlah film ini dan anda akan terhibur, apalagi kalau anda wanita, saya jamin anda akan tertawa terbahak-bahak dari awal hingga akhir, worth to watch!






March 13, 2010

REVIEW: GREEN ZONE












































"Chief Warrant Officer Roy Miller is done following orders."

Di poster Green Zone kita dalam melihat dengan jelas kalimat 'From the director of The Bourne Supremacy and The Bourne Ultimatum', hal ini sudah pasti akan membuat orang penasaran dan bertanya-tanya apakah film ini akan sebagus film yang terkenal dengan karakter Jason Bourne itu? Sebuah strategi marketing yang tepat, karena selain sutradaranya, Paul Greengrass, yang sama dengan kedua film tersebut, sang aktor pemeran utamanya juga ada dalam Green Zone, yaitu Matt Damon. Film ini diangkat dari buku karya Rajiv Chandrasekran berjudul 'Imperial Life in the Emerald City: Inside Iraq's Green Zone' yang bercerita tentang suasana di Irak pasa masa awal perang. Terus terang saya tidak berharap banyak dari film ini, namun ternyata Green Zone mampu menyuguhkan adegan action yang menghibur, terlepas dari jalan ceritanya yang tidak terlalu istimewa.

Matt Damon berperan sebagai Miller, kepala pasukan khusus yang ditugaskan di Irak untuk menemukan dan mengamankan
WMD (Weapons of Mass Destruction) yang diduga tersembunyi disana. Semakin lama sebuah tanda tanya besar mulai timbul di kepala Miller karena selama berada di Irak ia dan anak buahnya tidak pernah sekalipun menemukan sesuatu yang mencurigakan. Setiap kali mendapatkankan perintah dari badan intelijen untuk menyisir sebuah tempat, mereka pasti akan kembali dengan tangan kosong alias tidak menemukan apapun. Miller merasa dipermainkan dan yakin ada sesuatu yang tidak beres dengan badan intelijen yang terkesan memberikan informasi asal-asalan. Hal ini semakin diperkuat dengan dukungan dari kepala CIA di Baghdad, Martin Brown (Brendan Gleeson), yang juga mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak beres disana dan ini semua berkaitan dengan isu politik pemerintahan Amerika. Akhirnya dengan bantuan oleh seorang pemuda lokal Irak bernama Freddy (Khalid Abdalla), Miller dan kelompoknya berusaha menguak misteri yang ada.

Mendengar nama sutradaranya pasti sudah tertebak kalau Green Zone bakal menyajikan adegan laga dalam tempo cepat. Dari awal sampai akhir kita akan disuguhkan adegan action yang menarik dalam balutan kamera hand-held. Hati-hati kalau anda mudah pusing jika melihat gambar yang bergoyang, tapi tidak terlalu parah. Menurut saya penggunaan kamera hand-held pada film ini semakin membuat intensitas adegan action yang ada menjadi terasa lebih nyata dan menegangkan. Segi cerita tidak terlalu istimewa, karena cerita perang Irak dan Amerika memang sudah sangat sering diangkat menjadi sebuah film. Saya sendiri hanya menikmati adegan action dalam film ini dan tidak memperdulikan jalan ceritanya, malah saya kebingungan sendiri dengan bumbu politik yang ada. Beruntung film ini memiliki Matt Damon yang sekali lagi membuktikan kalau dirinya memang cocok bermain dalam film-film bergenre action. Khalid Abdalla juga memegang peran penting dalam film ini, aktingnya bisa dikatakan lumayan baik. Satu hal yang patut dipuji adalah keberhasilan sang sutradara membawa suasana ala Irak yang terlihat meyakinkan dalam filmnya, padahal film ini hanya mengambil gambar di Morocco, Spanyol, dan Inggris. Overall, filmnya layak ditonton jika anda menyukai film action tempo cepat. Ignore the story, just enjoy the action scenes. :)





March 6, 2010

REVIEW: UP IN THE AIR


























"Things you probably hate about travelling -the recycled air, the artificial lighting, the digital juice dispensers, the cheap sushi- are warm reminders that I'm home."

Jason Reitman pernah berhasil menyutradarai beberapa film Indie seperti 'Thank You for Smoking' dan 'Juno', kali ini ia pun kembali berhasil membuat sebuah film dengan tema unik, Up in the Air. Diadaptasi dari novel dengan judul sama karya Walter Kim. Disini Jason Reitman menggandeng aktor papan atas George Clooney yang sudah semakin tua tapi tetap saja masih sedap dipandang mata dan berkharisma. Kehadiran Vera Varmiga, Anna Kendrick, dan Jason Bateman tentu juga semakin menyemarakkan film ini. Saya suka Up in the Air karena dialog-dialognya yang lucu namun sekaligus sangat cerdas. Sepanjang film saya tidak bosan sama sekali, kembali lagi hal ini dikarenakan adanya script cerita yang baik. Saya akan sangat senang apabila Up in the Air berhasil memenangkan kategori 'Best Adapted Screenplay' pada ajang Oscar nanti. We'll see..

Ryan Bingham (George Clooney) berkerja di CTC (Career Transition Counseling), sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengurangan karyawan. Perusahaan-perusahaan lain yang ingin memecat karyawannya dapat menyewa CTC. Kerja Ryan setiap hari adalah memecat karyawan dari berbagai perusahaan di seluruh penjuru Amerika. Wajar saja kalau hidupnya tidak banyak dihabiskan di rumah. Di saat orang lain merindukan rumah saat sedang tugas ke luar kota, Ryan malah merasa waktu di rumah adalah saat yang menderita. Ia lebih menikmati hidupnya di udara, suasana lounge airport, hotel mahal, kartu member dari banyak tempat yang memberikannya keleluasaan untuk menyela antrian orang lain, dll. Ia juga adalah seorang motivator yang terkenal dengan tema 'Unpacking Your Backpack'. Ryan Bingham juga lebih menyukai kesendiriannya dibanding berkumpul dengan keluarga atau teman, apalagi menikah. Baginya semua ini sudah sangat menyenangkan, apalagi ia sedang mengejar target terbang sebanyak 10 juta mil. Namun kehidupannya bisa saja berubah ketika kantornya mendapatkan usul dari seorang karyawan baru bernama Natalie Keener (Anna Kendrick), seorang gadis ambisius berumur 23 tahun. Natalie menyusulkan untuk menyusut anggaran pengeluaran kantor dengan cara memecat orang melalui video calls yang menggunakan koneksi internet. Sudah pasti ini menjadi mimpi buruk bagi seorang Ryan Bingham! Belum lagi ketika ia bertemu dengan Alex Goran (Vera Varmiga) yang berhasil membuatnya jatuh hati tetapi ternyata menyembunyikan sesuatu yang penting.

Jadi sebenarnya film ini bercerita tentang apa? Tentang kehidupan. Memang terdengar simple, tapi penuh dengan segala kerumitannya. Menurut saya Up in the Air mengangkat sebuah tema yang dekat dengan apa yang kita alami dan juga banyak menyelipkan pelajaran dalam hidup. Deretan para pemainnya juga patut dipuji. George Clooney seperti tidak berakting, nyaris tanpa cela. Vera Varmiga tampil baik dan menggoda, sangat pas dengan karakter yang dibawakan. Yang membuat saya terkesima adalah akting Anna Kendrick yang ternyata sangat amat baik. Aktingnya sebagai seorang gadis yang arogan dan penuh dengan semangat kerja, namun sebenarnya seseorang yang masih terbilang polos benar-benar di luar dugaan saya. Sebelumnya Anna pernah bermain dalan Twilight sebagai Jessica, teman Bella, disana ia biasa saja, tidak istimewa. Namun setelah melihat penampilan Anna Kendrick disini, saya yakin karirnya akan bersinar bersama bintang muda baru lainnya seperti Carey Mulligan (An Education), Logan Lerman (Percy Jackson), dll. Kesimpulannya, Jason Reitman telah berhasil menyutradai film ini dengan sempurna, mulai dari sinematografi yang baik, pemilihan casts yang ciamik, soundtrack yang pas dengan film, dan yang paling hebat adalah sebuah script yang jenius!



March 5, 2010

REVIEW: ALICE IN WONDERLAND




































"This is impossible. Only if you believe it is."

Pertama kali tahu bahwa film Alice in Wonderland akan disutradarai oleh sutradara nyentrik Tim Burton saya langsung semangat dan menaruh ekspektasi yang sangat tinggi karena saya pikir film ini memang cocok sekali jika digarap oleh Tim Burton. Apalagi begitu tahu ada Johnny Depp dan Helena Bonham Carter, wow! Ternyata, entah karena ekspektasi yang terlalu tinggi atau bukan, film ini seperti kehilangan magic seorang Tim Burton. Saya mengira film ini akan sehebat karya Burton sebelumnya seperti Edward Scissorhands atau Big Fish, tapi Alice in Wonderland terlihat seperti bukan buatan Burton. Ceritanya sangat datar dan mudah ditebak, ditambah lagi dengan pemilihan Mia Wasikowska sebagai Alice yang ternyata belum terlalu bisa berakting. She absolutely had no connection with her character in this movie.

Kisah dibuka dengan Alice kecil yang selalu mengalami mimpi yang sama berulang-ulang, tentang suatu tempat asing yang memiliki kelinci putih, kucing tersenyum, ulat bulu besar berwarna biru, dan makhluk aneh lainnya. Beruntung sang ayah adalah seorang yang imaginatif dan selalu mengatakan bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini. Tiga belas tahun kemudian Alice Kingsley (Mia Wasikowska) telah beranjak remaja, ayahnya telah meninggal dunia. Ia tengah berada dalam sebuah situasi dimana sang ibu dan saudara perempuannya memaksa agar ia mau menikah dengan pemuda bangsawan yang aneh. Ketika pemuda tersebut ingin melamarnya, tiba-tiba saja Alice melihat kelinci putih yang selalu ada dalam mimpinya sejak kecil. Ia mengikuti kelinci tersebut sampai akhirnya terperosok dalam sebuah lubang yang membawanya ke Underland. Lalu disana Alice bertemu dengan The Mad Hatter (Johnny Depp) yang memberitahunya kalau ia lah yang ditakdirkan membantu The White Queen (Anne Hathaway) untuk merebut kembali haknya sebagai pemimpin Underland dari tangan jahat The Red Queen (Helena Bonham Carter). Disana Alice juga bertemu dengan makhluk yang sudah sering ia lihat dalam mimpinya seperti Tweedledee/Tweedledum, Cheshire Cat, Blue Caterpillar, White Rabbit, dan makhluk lainnya. Lalu dimulailah petualangan Alice!

Kenapa Tim harus merubah Wonderland menjadi Underland? Sounds soooo weird.. Menurut saya itu hal yang tidak perlu dilakukan, seperti membuang sebuah esensi penting dalam film ini. Dengan naskah yang tidak dapat dibanggakan, beruntung Alice in Wonderland dikemas dalam visualisasi yang menarik khas Tim Burton. Sedikit lega melihat masih ada sedikit sentuhan Burton melalui gambar yang berwarna-warni tapi tetap sekaligus memberikan kesan misterius, karakter makhluk yang diperbaharui menjadi lebih segar dan unik. Akan tetapi ada bagian dari film ini yang terasa terlalu berlebihan dalam hal CGI, bahkan beberapa karakter benar-benar terlihat seperti kartun, bukan animasi. Animasi yang ditampilkan terkesan masih 'setengah matang'. Belum lagi saya dengar versi 3D-nya juga tidak terlalu terasa. Saya rasa menonton versi 2D sudah cukup. Ending film juga terkesan terburu-buru, keseluruhan film ini sudah dapat saya tebak dengan mudah dari awal. Ya, saya tahu ini memang diadaptasi dari serial anak-anak, tapi yang satu ini memang terasa too plain, too simple, too flat..

Dari semua kekurangan yang sudah saya sebutkan diatas, saya tetap tidak bisa bilang film ini jelek karena memang film ini cukup fun dan entertaining. Tepuk tangan meriah saya berikan untuk Helena Bonham Carter, istri Tim Burton, yang bermain sangat apik dalam memerankan karakter The Red Queen. Teriakan, intonasi, dan gelagatnya sangat pas dengan peran yang harus ia mainkan. Belum lagi dandanannya yang freak dengan kepala berbentuk hati yang super besar dan bibir love ala Jeng Kelin. Menghibur sekali. Johnny Depp yang memerakan The Mad Hatter memang jagonya peran-peran nyeleneh seperti ini dan sepertinya ia tidak kesulitan dengan perannya kali ini. Anne Hathaway tampil membawakan karakternya sebagai The White Queen yang sebenarnya agak konyol menurut saya, dengan tangan yang selalu melambai-lambai kesana kemari, but never mind, mungkin memang harus begitu. Ia cukup baik membawakan perannya. Seandainya saja peran Alice bukan dimainkan oleh Mia Wasikowska, entahlah.

Overall, film ini tetap layak untuk ditonton. Ceritanya standar namun dikemas dalam visualisasi yang indah dan sedap dipandang mata. Bagi yang tidak punya harapan terlalu tinggi pada film ini pasti akan sangat terhibur. Mungkin review saya kali ini sedikit subjektif karena saya terlalu mengharapkan sesuatu yang lebih dari seorang Tim Burton. Sudah pasti hal ini turut terpengaruhi oleh ekspektasi saya sejak awal. Namun biar bagaimanapun juga saya cukup menikmati film ini. In the end...it's NOT A BAD MOVIE at all, it's surely a perfect movie for family, but definitely not what I'd expected. :)





March 4, 2010

REVIEW: SHUTTER ISLAND



























"Some Places Never Let You Go"

Sebuah karya terbaru dari sutradara Martin Scorsese yang pernah sukses memboyong Oscar dalam film The Departed (2006). Ini juga adalah hasil kolaborasi keempat antara Martin Scorsese dengan aktor kesayangannya sekarang ini (setelah Robert DeNiro), Leonardo DiCaprio. Sebelumnya Leo memang sudah beberapa kali bermain dalam film arahan Scorsese, sebut saja The Aviator, Gangs of New York, dan juga The Departed. Ketiga film tersebut terbilang sukses, begitu juga dengan Shutter Island yang sudah dua minggu berturut-turut berada di puncak tangga box office.

Shutter Island sendiri diadaptasi dari novel karya Dennis Lehane yang pernah menulis Mystic River dan Gone Baby, Gone. Novel-novel karya Dennis memang biasanya cenderung dark dan twisted, sama halnya dengan Shutter Island kali ini. Dan sutradara selevel Martin Scorsese menurut saya berhasil mengadaptasi dengan baik, meskipun saya sendiri belum membaca novelnya. Film ini terasa classic, dark, dan twisting. It will twist your mind from the beginning until the end. Mungkin alurnya akan terasa lambat di awal film, namun apabila anda sabar menunggu sampai akhir film anda pasti akan bergumam 'ohh begituuu..'

Bersetting tahun 1954, film ini menceritakan seorang anggota federal U.S Marshall bernama Teddy Daniels (Leonardo DiCaprio) dan partner kerja barunya Chuck Aule (Mark Ruffalo) yang sedang ditugaskan untuk berkunjung ke sebuah pulau terpencil guna menyelidiki tentang misteri hilangnya seorang pasien dari rumah sakit jiwa Ashecliffe. Sebenarnya Teddy memiliki maksud pribadi yang mengharuskannya menyelidiki rumah sakit jiwa tersebut, namun belum jelas dengan yang ingin dicarinya disana, ia dan partnernya malah merasa ada yang tidak beres dengan kepala rumah sakit jiwa, Dr.Cawley (Ben Kingsley), yang terkesan menutup-nutupi sesuatu. Teddy berusaha keras mencari bukti-bukti yang ada disana, namun selalu ditutupi oleh pihak rumah sakit. Sampai tiba-tiba Teddy selalu mendapatkan halusinasi dan mimpi aneh setiap hari sehingga ia mulai meragukan mana yang nyata dan mana yang halusinasi. Sebenarnya apa yang terjadi disana? Apakah Teddy tidak akan bisa keluar dari pulau tersebut?

Saran saya, kalau anda tidak suka dengan film-film beralur lambat, membingungkan, serta memaksa anda untuk berfikir keras selama menonton, sebaiknya lewatkan saja film ini. Karena saya jamin anda pasti bosan dan akan keluar bioskop sebelum film usai. Tapi kalau anda tanya bagaimana dengan saya? Ya, saya menikmati film ini. Saya ikut penasaran dengan alur dan misteri yang ada didalamnya, tidak merasa bosan sama sekali. Film ini memang sulit dicerna bagi semua orang, tidak semuanya dapat menikmati tipe film seperti ini. Tapi kalau anda memperhatikan filmnya dari awal dan sudah mengetahui kalau film ini memang mengusung psychological thiller, anda pasti akan puas.

Lewat film ini Martin Scorsese semakin menunjukkan jati dirinya sebagai sutradara kawakan, begitu juga Leonardo DiCaprio yang sudah tidak perlu diragukan lagi kualitas aktingnya. Mark Ruffalo tampil lumayan baik, tidak istimewa, tapi tetap bisa mengimbangi lawan mainnya. Aktor veteran, Ben Kingsley juga demikian. Michelle Williams hanya tampil sebentar dan aktingnya biasa saja. Shutter Island adalah film yang harus ditonton dengan hati-hati dari awal, perhatikan semua detail yang ada. Pada akhirnya, anda dan sang aktor dalam film ini akan dibiarkan menebak-nebak dan mencari jawaban sendiri. Bahkan saya rasanya ingin menonton sekali lagi agar semakin mengerti. Biasanya dalam film model twisting seperti ini, puzzle yang tidak terpecahkan pada saat awal menonton akan mudah terpecahkan pada kali kedua. Kalau sudah nonton, comment yaa..