October 9, 2013

REVIEW: FLU (감기)

"Death is in the air you breathe."

Film Korea tidak dapat dipungkiri memang mulai banyak membanjiri konten bioskop tanah air belakangan ini. Saya pribadi sebetulnya tidak terlalu excited bila harus menyaksikan film Korea di bioskop, underestimate mungkin. 'Ah, di dvd saja!', begitu biasanya. Lagipula drama Korea juga terlalu melekat dengan kisahnya yang mendayu-dayu dan unyu (baca: menye-menye). Namun film-film Korea terakhir yang saya tonton di bioskop ternyata tidak mengecewakan sama sekali. Terakhir saya menonton Mr.Go (2013) yang menurut saya merupakan film keluarga yang menyenangkan untuk ditonton. Begitu melihat ada film FLU, saya langsung penasaran, entah kenapa saya memang selalu tertarik dengan film-film bertemakan disaster atau virus seperti Contagion (2011) misalnya. Seru saja!

Tidak ada ekspektasi apapun saya akhirnya menyaksikan FLU pada pemutaran premiere-nya. Dan saya pun tidak menyangka dapat dibuat tegang dari awal sampai akhir film. Tempo film sendiri berjalan sangat cepat sehingga dari awal saya tidak merasa bosan sama sekali, mengingat durasi film yang cukup panjang. Memang, seperti pada film Korea yang lain, ada beberapa scene yang terlalu diulur, dengan kata lain 'too much drama', tetapi secara keseluruhan FLU menurut saya adalah one of the best Korean movie I've seen. Penggarapannya maksimal, jalan cerita menarik, para pemain aktingnya luar biasa. Hal-hal minor yang menjadi kekurangan seperti efek CGI yang masih jelek sekali menurut saya tidak terlalu menjadi masalah, intinya I enjoyed this movie so much.

Cerita dimulai ketika adanya sebuah virus mematikan yang berasal dari sebuah kontainer perdagangan manusia dari Filipina menuju Korea. Bundang, yang menjadi tujuan kontainer itu pun langsung menjadi sorotan karena dalam kurang dari 24 jam virus flu mematikan ini menyebar dengan sangat cepat keseluruh penjuru kota. Kematian yang sangat cepat dan mengenaskan ini terjadi bertubi-tubi sebelum pemerintah sempat mengambil tindakan lebih lanjut, masyarakat Bundang terjangkit virus ini setiap menit!

Kang Ji Goo (Jang Hyuk) adalah seorang petugas pemadam kebakaran. Suatu hari ia menyelamatkan Kim In Hae (Soo Ae), seorang dokter muda cantik yang ternyata sudah memiliki seorang anak perempuan, Kim Mi Reu (Park Min Ha). Ji Goo pun jatuh cinta pada pandangan pertama pada In Hae, namun sayang tidak lama setelah itu, wabah virus mematikan tersebut langsung mengguncang kota Bundang. Ji Goo pun berusaha sekuat tenaga untuk melindungi In Hae dan putrinya agar selamat dari wabah virus flu.

Bersiap-siap untuk jatuh kecil dengan gadis kecil bernama Park Min Ha! Aktingnya super duper jempolan! Anda akan dibuat tertawa dan terharu melihat tingkah lugu dan menggemaskan Min Ha dalam film ini. But seriously, I think I've never seen a little girl who can act sooo natural like her. Jang Hyuk juga bermain sangat baik dalam film ini. Bicara soal aktor Korea, Jang Hyuk memang merupakan salah satu aktor favorit saya juga selain Cha Tae Hyun (My Sassy Girl, Hello Ghost). Soo Ae pun berhasil mengimbangi Jang Hyuk dan mereka terlihat cocok bermain dalam satu frame. Para pemeran pendukung yang lain juga oke dengan karakternya masing-masing, terutama sang presiden! God, he's so cool! Kalian harus lihat bagaimana si Pak Presiden ini kebingungan menangani kasus yang ada apalagi ditambah tekanan sana sini dari pihak luar negri dan pada akhirnya keputusan yang diambil pun membuat seisi bioskop tepuk tangan. Kharismatik, itu lebih tepat.

Akhirnya saya bisa bilang bahwa FLU adalah film yang layak untuk ditonton. It's a good movie, really. Tidak sempurna memang, jalan cerita juga lumayan klise memang, tapi tempo cerita dibuat sangat intens dan seru untuk ditonton. Penonton akan dibuat tegang, tertawa geli, sampai terharu, emosi dijamin campur aduk! Ini memang jagonya film maker Korea! Selagi menonton FLU kalau ada orang sebelah anda yang batuk-batuk pasti anda akan jadi parno sendiri, like what happened to me lol. But seriously, go see it guys, this movie was an enjoyable one for me, I'm sure you will enjoy it too. :)





October 8, 2013

REVIEW: GRAVITY 3D

"Do you dare to live in space?"

Saya tidak pernah bercita-cita menjadi seorang astronot. Membayangkan berkunjung ke luar angkasa saja sudah membuat saya bergidik ngeri. Namun tema yang diangkat Gravity karya Alfonso Cuaron ini berhasil membuat saya penasaran seperti apa sih rasanya hidup di luar angkasa. Saya tidak ingat apakah saya sempat bernafas di beberapa menit awal film, that's just how intense the opening minutes of Gravity are. Visualisasi yang spektakuler berhasil membuat penonton terkesima dengan gambar yang disajikan di layar, sound minim yang sengaja diciptakan pun semakin menambah ketegangan. Lama kelamaan intensitas yang sudah ada dari awal pun semakin terbangun dan membuat anda seakan sesak napas.

Gravity bercerita tentang Dr. Ryan Stone (Sandra Bullock) dan Matt Kowalski (George Clooney). Kowalski adalah seorang astronot veteran yang sudah sering berkunjung ke luar angkasa dan ia sangat menikmati hal itu. Stone adalah seorang ilmuwan yang sedang menjalani misi pertamanya ke luar angkasa untuk mengimplementasikan teknologi temuannya pada Hubble telescope. Lima belas menit pertama dalam film ini kita diperlihatkan apa yang mereka kerjakan di luar angkasa dan setelah itu terdengarlah pesan bahwa misi dibatalkan karena adanya serpihan pecahan pesawat Russia. Suasana menjadi tegang ketika Stone dan Kowalski tidak bisa lagi melakukan komunikasi ke Bumi, pesawat mereka pun hancur, dan mereka mau tidak mau harus mencari cara agar bisa selamat di luar angkasa. Dengan sisa oksigen yang tidak banyak, waktu yang sedikit, mereka berdua harus beradu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa mereka.

Sandra Bullock dan George Clooney menurut saya merupakan pasangan yang pas, chemistry yang terjalin dalam film ini sangat terasa dan masing-masing dari mereka pun memberikan performa akting yang brilian. Karakter masing-masing yang dimainkan juga sepertinya menempel sempurna pada keduanya. Alfonso Cuaron sepertinya paham betul dengan apa yang ia buat kali ini, ia seperti menciptakan sebuah seni berlatar belakang angkasa luar. Indah sekali. Mulai dari movement para pemain, pemandangan bumi dari atas, luar angkasa itu sendiri, sampai pecahan-pecahan puing yang dasyat. Mungkin ada beberapa orang yang tidak terlalu suka menonton film tiga dimensi, but trust me for this one you gotta watch the 3D version. Luar angkasa, adalah latar belakang yang tepat untuk menunjukkan pada penonton bagaimana efek 3D dapat begitu terasa dalam sebuah film serta sensasi menonton yang amat beda.

Terus terang jalan cerita Gravity memang bisa dibilang sangat simple. Saya yakin bagi sebagian orang film ini akan terasa membosankan, I think with this kind of movie it's either you love it or you hate it. Namun menurut saya pribadi, kesuksesan sang sutradara mengemas film ini sedemikian rupa dengan hanya diisi oleh dua aktor merupakan sebuah prestasi yang cemerlang. Ide yang sederhana ini berhasil ia tuangkan menjadi sebuah tontonan berseni. It is very, very, intense. Kudos untuk pengamatan detail Cuaron pada suara yang ada dalam film ini, dimana hal ini semakin menambah ketegangan dalam setiap scene-nya. Gravity surely gave me a whole different cinematic experience.






July 20, 2013

REVIEW: THE CONJURING

"Look what she made me do."

James Wan is definitely a horror genius! Saw pertama yang disutradarainya tahun 2004 merupakan titik awal kejeniusannya dikenal dunia. That is a great slasher entertainment! Lalu tahun 2010 kemarin, Wan juga menakuti penonton dalam Insidious. Saya lumayan suka dengan Insidious yang menurut saya merupakan sebuah oldschool horror, reviewnya bisa dibaca disini. Tapi, semua tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan The Conjuring! Trust me, this movie will make you jump from your seat and scream like a little girl! Semua sudah di planned oleh James Wan dengan sangat baik, mulai dari cast, score, tone warna, script; and it turned out to be an epic shit horror! To make it worse, this movie is based on a true story. Damn.

Ed (Patrick Wilson) dan Lorraine Warren (Vera Farmiga) adalah pasangan suami istri paranormal yang bisa dibilang terkenal akan kemahiran mereka dalam memecahkan kasus gaib. Mereka mengajarkan tentang kekuatan ilmu hitam dan cara menanganinya dalam sebuah kelas, sambil juga tetap menerima kasus-kasus dan mengumpulkan semua footage yang ada. Mereka bahkan 'mengoleksi' barang-barang yang terisi ilmu hitam dan mengumpulkannya dalam satu kamar di rumah mereka, menurut Ed dan Lorraine akan lebih aman kalau barang-barang jahat ini dikumpulkan dalam satu tempat dibanding berada di tangan orang yang salah.

Ada satu kasus yang tidak mereka ceritakan pada public karena kasus ini merupakan kasus yang paling seram dan sulit selama mereka menjadi paranormal. Kasus ini dimulai ketika Carolyn (Lily Taylor) datang meminta bantuan Ed dan Lorraine untuk mencoba melihat apa yang terjadi didalam rumah baru mereka. Roger (Ron Livingston) dan Carolyn serta kelima anak perempuan mereka yang baru pindah ke sebuah rumah baru disamping danau mendapatkan gangguan-gangguan sejak hari pertama mereka menginjakkan kaki ke rumah tersebut. Semakin lama gangguan ini semakin membabi buta sampai akhirnya mereka memutuskan untuk mencari bantuan The Warrens. Hal ini di konfirmasi oleh Lorraine yang langsung mendapatkan perasaan tidak enak dan merasa sesuatu yang amat buruk pernah terjadi dalam rumah tersebut.

Saya suka bagaimana James Wan pelan-pelan membangun intensitas horror dalam film ini. Dimulai dengan ketakutan yang masih bisa ditolerir sampai berujung dengan seisi bioskop yang menjerit bersama. Bukan berarti anda akan dibuat santai di awal, oh tidak, anda tetap akan merasa tegang sejak awal film dimulai dan hal ini akan dibangun semakin kuat mulai pertengahan menjelang akhir. Banyak film horror yang misinya hanya menakuti penonton dengan membuat kaget dan mempertontonkan wujud super seram, tapi sebuah film horror yang baik adalah yang memiliki jalan cerita serta membuat para penontonnya bukan hanya kaget tapi takut secara emosional. That what makes it a good horror movie!

I can say that The Conjuring is simply the best horror movie I've seen. It's a classic! Sebuah horror pintar dengan ketakutan-ketakutan orisinil yang belum pernah anda lihat dimanapun. Disaat menonton, anda akan berfikir dalam hati dan mengambil ancang-ancang kemana ketakutan ini akan berujung, akan tetapi James Wan rupanya tau jalan pikiran anda dan malah menakuti anda dari sisi lain, ini yang membuat penonton tidak kuat menahan teriakan. End credit film ini juga sangat keren. Saya beruntung sekali bisa menyaksikan lebih dulu dalam preview screening kemarin malam, semua orang tepuk tangan setelah film usai. Clap, clap!





July 12, 2013

REVIEW: PACIFIC RIM 3D

"In order to fight monsters, we created monsters of our own."

I went to see Pacific Rim with no expectations at all. I thought, well okay, another Transformers movie which not gonna be as good as Transformers, but hell I was wrong. Tetapi ternyata dengan tidak adanya ekspektasi sama sekali membuat saya sangat menikmati menonton Pacific Rim, meskipun dua teman yang nonton bersama saya ternyata tidak suka, and they're boys. Jadi ya, balik lagi film itu memang tergantung selera orang masing-masing, kebetulan I really enjoyed this movie. I watched it on IMAX 3D and I thought it was a mindblowing experience! The special effects and the robots fighting scenes are really cool, you don't wanna miss it! I think the 3D version is recommended. Jalan cerita sendiri sebetulnya so-so, tidak terlalu istimewa. Tapi trust me, this is one of the great summer movie this year! Jangan ekspektasi tinggi-tinggi, langsung nonton aja. :)

Beberapa tahun dari sekarang, alien's monsters Kaiju yang muncul dari portal dasar laut Pasifik mulai datang menyerang Bumi. Perlahan tapi pasti mereka mulai menghancurkan infrastruktur yang ada dan membunuh manusia yang mereka temui. Negara-negara mulai cemas dan akhirnya mereka memutuskan untuk bekerjasama membuat robot-robot yang diberi nama program Jaeger. Robot Jaeger harus dikendalikan dua orang pilot yang saling bertautan memorinya. Semakin kuat ikatan yang ada antara kedua pilot tersebut, maka semakin baiklah pengendalian robot Jaeger. Raleigh Becket (Charlie Hunnam) merupakan salah satu top Jaeger's pilot. Namun setelah kematian kakaknya, ia memutuskan untuk tidak menjadi pilot lagi. Lima tahun kemudian pimpinan kelompok resistance, Stacker Pentecost (Idris Elba) kembali mencari Raleigh dan mengajaknya ikut dalam pembasmian Kaiju dikarenakan level monster Kaiju yang semakin lama semakin tinggi dan penghancuran yang dilakukan sudah mengarah ke kiamatnya Bumi.

Sejujurnya ketika awal film saya merasa agak aneh dengan film ini, serius nggak; bercanda juga nggak. Namun seiring dengan berjalannya film saya jadi mengerti bahwa Del Toro sengaja membuat Pacific Rim tidak seserius itu! Semua pemain sepertinya sengaja dibuat 'lebay', beberapa scene sengaja dibuat 'cheesy', dan tentu saja adegan pertarungan antar robot dibuat 'wah' sekali! Tidak disangka trik ini berhasil! Overall, saya merasa menonton Pacific Rim seperti sedang bermain sebuah permainan video game yang seru dan membuat kita ingin bertepuk tangan ketika setiap adegan pertempuran selesai. Charlie Hunnam bisa dibilang annoyingly lovable disini; sebel tapi suka. Gimana yah?! :p Idris Elba top lah! Rinko Kikuchi awalnya menurut saya agak 'off' tapi lama-lama saya jadi berfikir, mungkin memang sengaja dibentuk seperti ini karakternya agak sedikit anime. Kehadiran Charlie Day sebagai seorang Dr.Newton Geiszler juga sangat menghibur, begitu juga dengan Ron Perlman as Hannibal Chau. Pokoknya saran saya kalau kalian ingin menonton Pacific Rim adalah 'WHY SO SERIOUS?!'.






REVIEW: THE HEAT

Agent Sarah Ashburn: They're spandex, they just hold everything together.
Det. Shannon Mullins: Why? What's going to come popping out?

I really had fun watching The Heat! Siapa sangka kalau film ini bisa membuat seisi bioskop terhibur dan tertawa hampir di sepanjang film. Tema yang diangkat The Heat memang bukanlah sebuah tema yang baru, sudah banyak film dengan tema serupa, seperti sebut saja 21 Jump Street (2012); meski dengan gender yang berbeda. Bridemaids (2011) karya sutradara Paul Feig juga merupakan tontonan yang sangat menghibur, jadi tidak heran kalau kali ini Paul kembali memperlihatkan kepiawaiannya membuat film komedi lainnya. Terus terang saya malah lebih menyukai The Heat dibandingkan Bridesmaids, ada beberapa lelucon di Bridesmaids yang menurut saya sedikit berlebihan. The Heat memiliki komposisi keseluruhan yang pas.

Sarah Ashburn (Sandra Bullock) merupakan seorang agen FBI yang cemerlang. Ia memiliki insting yang kuat dan sudah banyak kasus-kasus yang dipecahkannya dengan mudah. Namun karena sikapnya yang arogan, ia tidak disukai oleh teman-temannya. Ketika ada kesempatan untuk kenaikan jabatan di kantor, ia langsung bersedia ketika disuruh sang atasan untuk menangani sebuah kasus yang berkaitan dengan pengedaran narkoba di Boston. Disana ia terpaksa harus bekerja sama dengan seorang detektif lokal bernama Shannon Mullins (Melissa McCarthy). Mullins bisa dibilang memiliki karakter yang sangat berbeda dengan Ashburn, ia jauh lebih 'gangster style', but still, she's great in what she's doing. Kedua karakter ini mau tidak mau bersatu guna memecahkan kasus tersebut, namun permusuhan yang terjadi diawal bisa saja berujung dengan persahabatan.

Chemistry, chemistry, chemistry! It's all about chemistry! Ini merupakan hal penting dalam The Heat, karena kalau antara Bullock dan McCarthy tidak tercipta jalinan chemistry yang sedemikian rupa, pastilah hasilnya akan berbeda. Sandra Bullock kembali membuktikan kalau jalur ini memang jalur yang sangat dinikmatinya, she ruled it! Melissa McCarthy juga untungnya tidak berlebihan disini, tadinya saya sedikit takut kalau ia akan terlalu over, alias 'maksa'. Namun ternyata dengan dipasangkannya kedua aktris ini, The Heat menjadi sebuah tontonan guilty pleasure yang sangat menghibur! Script yang ada juga patut dipuji, banyak jokes segar yang dihadirkan didalam film ini. Jadi meskipun tema dan jalan cerita biasa saja, jokes dan akting para pemainnya tidak akan membuat penonton kecewa. Lagi pula, ini film komedi, tidak perlu jalan cerita ribet yang membuat penonton pusing, just watch it and you'll be entertained.






July 11, 2013

REVIEW: THE LONE RANGER

"Never remove the mask, kemosabe."

The Lone Ranger bisa dibilang merupakan ajang reuni para awak Pirates of the Caribbean, mulai dari sang pemeran utama, Johnny Depp, sampai sutradara dan penulis. Depp sendiri memang sudah sangat identik dengan karakter-karakter seperti ini and I think I kinda getting tired of it. Bukan berarti saya tidak menikmati kualitas akting jempolan Depp, tidak ada yang perlu diragukan kalau soal itu, akan tetapi rasanya agak jenuh melihat ia mengambil peran yang itu-itu saja. Spesialisasi, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkannya. Bukan hal yang buruk memang, maybe it's only me. Saya dari awal memang tidak terlalu tertarik dengan kehadiran The Lone Ranger, mulai dari melihat poster dan menonton trailernya. It turned out that I didn't like the movie very much, I did enjoy some scene though, mostly dari awal sampai pertengahan film. Tapi setelahnya sampai film berakhir saya malah merasa bosan.

Film dimulai dengan adegan dimana seorang pengacara muda bernama John Reid (Armie Hammer) yang kembali ke kampung halamannya di Texas. Ia secara tidak sengaja terlibat dalam sebuah adegan kriminal didalam kereta yang melibatkan seorang Indian bernama Tonton (Johnny Depp) dan seorang penjahat kelas kakap yang sudah amat terkenal kesadisannya, Bush Cavendish (William Fitchner). Hari itu semestinya menjadi hari eksekusi Bush, akan tetapi kawanannya menyelamatkan Bush. John Reid pun akhirnya bergabung dengan kakaknya dan beberapa warga lain dalam sebuah kelompok bernama Texas Ranger. Namun naas, semuanya dibunuh dengan sadis, kecuali John. Dibantu dengan Tonton, mereka berdua pun berniat membalas dengan kepada kawanan Bush Cavendish karena ternyata dendam yang mereka pendam tertuju pada orang yang sama.

Sejujurnya, The Lone Ranger bukanlah sebuah film yang amat-sangat-buruk. Bisa dibilang, it's an okay movie, I'm sure it's pretty entertaining for some people. Tapi seperti yang sudah saya tuliskan diatas, saya hanya bisa menikmati setengah awal dari film ini, setengahnya lagi menurut saya memiliki isi yang kurang penting. Durasi yang terlalu panjang, ini jadi problem utama The Lone Ranger. Dengan durasi dua setengah jam, satu jam sebelum film berakhir saya dibuat bosan dan menunggu kapan film akan selesai. Armie Hammer menurut saya tidak kalah bagus kualitas aktingnya, berkolaborasi dengan seorang aktor besar seperti Johnny Depp tentu saja bukan hal yang mudah. Namun Armie membuktikan bahwa kharisma yang ia punya tidak kalah bersinar. Saya pertama kali tau Armie Hammer dari film The Social Network (2010), disana ia berperan ganda sebagai Winklevoss bersaudara, which I think he stole the spot light there. Helena Bonham Carter tidak terlalu banyak porsinya dalam film ini, tetapi seperti biasanya, ia selalu bisa membuat suasana jadi lebih meriah. Almost all the cast here are brilliant, masalah bukan dari jajaran cast, script dan durasi yang terlalu panjang membuat The Lone Ranger tidak menjadi salah satu film favorit saya summer tahun ini. :)






June 30, 2013

REVIEW: DESPICABLE ME 2 3D

"Bottom? HAHAHAHAHA.."

Who doesn't love minions? I LOVE MINIONS! Sejak pertama kali menonton Despicable Me tahun 2010 kemarin, saya langsung jatuh cinta dengan makhluk kuning super lucu yang ada dalam animasi ini. Buat yang belum baca review yang pertama bisa baca disini. Bukan hanya minions tapi semua karakter dalam Despicable Me memang sangat lovable. Berkat kesuksesan yang tidak disangka, sequelnya tahun ini sudah pasti ditunggu para moviegoers. Berbagai promosi yang ada juga sukses, contohnya Mc.Donalds yang menjual miniatur minions sepaket dengan Happy Meal langsung ludes dalam beberapa hari! Terbukti para pecinta minions memang banyak, termasuk di Indonesia. They are too cute to be true. Saya sendiri sudah tidak sabar menunggu kelanjutan film ini, beruntung lagi-lagi saya bisa menyaksikannya lebih dulu kemarin dalam media screening, versi 3D pula! Bananaaaaaa..!!! Bananaaaaaa..!!!

Kali ini Gru (Steve Carell) sudah sangat berubah semenjak mengadopsi Agnes (Elsie Kate Fisher), Edith (Dana Gaier), dan Margo (Miranda Cosgrove). Ia sudah pensiun dari penjahat dan mulai berbisnis selai dan jelly. Namun tiba-tiba ia kedatangan Lucy Wilde (Kristen Wiig), seorang agent anti penjahat yang ditugaskan oleh atasannya, Silas Ramsbottom (Steve Coogan), untuk mencari Gru dan memaksanya membantu mereka menangkap seorang penjahat baru. Gru pun terpaksa menuruti kemauan mereka karena ia dulu pernah mencuri bulan, meskipun pada akhirnya dikembalikan lagi. Anti-Villain League sengaja mencari Gru karena menurut mereka hanya penjahat lah yang bisa mengerti cara berfikir penjahat lainnya. Akhirnya Gru dibantu dengan Lucy bersama-sama menyamar dan berusaha menerka siapakah penjahat baru ini. Para minions sudah tentu saja ikut andil dalam proses ini!

Despicable Me tidaklah hanya bergantung kepada para minions untuk bisa sukses besar, karakter-karakter lovable dalam yang ada didalamnya memang punya tempat tersendiri di hati para penonton; Gru, Agnes, Edith, Margo, Dr.Nefario, dan sekarang ditambah dengan kehadiran Lucy Wilde. Menurut saya pribadi, Despicable Me 2 lebih lucu bila dibandingkan yang pertama, meskipun dari segi cerita sendiri memang masih lebih bagus yang pertama. Tapi bohong kalau anda tidak buat tertawa di setiap scene, khususnya scene yang melibatkan minions. Ada 2 scene dimana para minions bernyanyi-nyayi unyu dan saya pun dibuat tertawa setengah mati, I laughed my ass out during that scene! Karena tawa ini lah, plot yang sedikit lemah bukanlah sebuah hal yang perlu dibesar-besarkan. Just enjoy it and laugh out loud throughout the film!

Bravo Universal Studios and Illumination Entertainment for bringing us such a great animation! Saya sangat menikmati setiap menit yang saya habiskan menonton film ini. Kekonyolan yang ada didalamnya membuat saya tidak henti mempromosikan film ini ke setiap orang yang bertanya. It's pure entertainment, not only for children but also for adults! Wajib nonton versi 3D ya! Saya sendiri bukanlah orang yang suka menonton film 3D kalau tidak terpaksa, karena entah kenapa memakai kacamata 3D kadang membuat kepala saya pusing, apalagi kalau filmnya tidak worth it untuk disaksikan dalam versi 3D.. Namun Despicable Me adalah sebuah pengecualian. Despicable Me pertama sudah membuat saya ternganga dengan efek 3D super eye-popping, kali ini Despicable Me 2 juga tidak kalah seru ditonton versi 3D-nya. Like the first one, please stay for the end credits for a nice little added after credits scene. Papoyyy!!! :)






June 29, 2013

REVIEW: WHITE HOUSE DOWN

"Don't touch the Jordans!"

Orang sudah pasti akan membandingkan White House Down dengan Olympus Has Fallen yang baru saja tayang beberapa bulan lalu. Kedua film ini tayang dengan jarak waktu yang tidak terlalu jauh dan memiliki tema yang bisa dibilang sama, dimana negara Amerika diselamatkan oleh seorang pria pemberani dengan bermodalkan pistol. Jika saya harus memilih diantara kedua film tersebut terus terang saya sendiri bingung karena menurut saya keduanya memiliki nilai yang sama. Both are not a bad movie; but not a great movie either. Namun White House Down merupakan sebuah tontonan yang fun karena humor yang diselipkan disepanjang film. Jangan mengharapkan sesuatu yang berbeda dari segi cerita karena dari segi cerita sendiri bisa dibilang sangat klise. But yeah, it was a fun summer blockbuster movie.

Presiden Amerika Serikat, James Sawyer (Jamie Foxx), sedang berada di tengah misinya untuk berdamai dengan wilayah Timur Tengah, dan seorang perwira polisi Capitol, John Cale (Channing Tatum) sedang berada di White House dengan harapan ia dapat lulus interview dan diterima menjadi salah seorang secret agent pengawal presiden. Meski aplikasinya ditolak, ia tetap berada di White House sembari menikmati tur disana guna menemani anaknya yang gila politik, Emily (Joey King). Namun ditengah tur terjadi keributan di Gedung Putih karena adanya orang dalam yang berkhianat. Disaat berlangsungnya aksi pengambilalihan Gedung Putih, John dan putrinya terpisah. John menjadi satu-satunya orang yang selamat dan menjadi tumpuan utama untuk menyelamatkan Presiden dan ia juga sekaligus harus mencari cara agar bisa melindungi putrinya sebelum para terroris berhasil menghancurkan simbol terbesar bangsa Amerika.

Aksi 'kucing - tikus' berlangsung terus sepanjang film. Tempo film ini sendiri memang agak slow dari awal menjelang pertengahan, namun menuju akhir sepertinya kekonyolan demi kekonyolan mulai semakin mendominasi sehingga menurut saya itu menjadi salah satu penyelamat White House Down. Entah bagaimana jadinya kalau tidak ada selipan humor dalam film ini, karena terus terang dari segi cerita memang bukan sesuatu yang baru. Namun jujur, saya suka dengan ending yang disajikan. Akting Channing Tatum sebagai hero disini juga bagus. Jamie Foxx awalnya menurut saya kurang cocok, namun kembali lagi, setelah kekonyolan mulai lebih mendominasi saya jadi meralat hal tersebut. The rest of the cast was not bad. Pertanyaannya, apakah White House Down adalah sebuah film yang menyenangkan untuk ditonton? Ya. Is it a GREAT movie? No. Apakah film ini termasuk salah satu film summer terbaik tahun ini? Tidak. Tapi saya cukup menikmati dua jam lebih yang saya lewati untuk menonton film ini. :)





June 22, 2013

REVIEW: STOKER

"This is me. Just as a flower does not choose its color, we are not responsible for what we have come to be."

Disutradarai oleh Park Chan Wook (Old Boy, Thrist) dan ditulis oleh aktor Prison Break, Wentworth Miller, Stoker merupakan sebuah karya thriller yang unik tentang sebuah keluarga 'sakit'. Film ini juga merupakan debut film berbahasa Inggris pertama dari Park. Salah satu hal yang paling menarik dalam film ini adalah Park's directorial style. Dikenal dengan gaya pengambilan gambar yang kinetic, scene dalam Stoker terasa begitu indah dan penuh makna terselubung. Dari awal sampai akhir film ada saja scene yang membuat saya amaze sangking kagum akan perhatian sang sutradara pada hal-hal detail yang ada.

Stoker berkisah tentang India Stoker (Mia Wasikowska), seorang remaja pintar yang terlahir dari keluarga kaya. Ia berkepribadian introvert dan lebih suka menyendiri. Satu-satunya orang yang paling dekat dengan India hanyalah ayahnya (Dermot Mulroney), namun sayang pada ulang tahunnya yang ke-18 sang ayah meninggal dunia karena kecelakaan. India yang sedang berkabung harus berkutat dengan ibunya, Evelyn (Nicole Kidman), yang adalah seorang pecandu minuman keras dan terkesan tidak terlalu perduli akan kematian suaminya. Masalah mulai muncul ketika tiba-tiba mereka kedatangan sosok misterius bernama Charlie (Matthew Goode) yang ternyata adalah adik almarhum. India yang tidak pernah tahu bahwa ia punya paman pun merasa risih akan kemunculan Uncle Charlie. Lain hal nya dengan Evelyn yang terlihat begitu senang dengan kedatangan sosok laki-laki muda tampan itu.

Warna-warna dalam film ini sangat menakjubkan. Pengambilan gambar serta score juga saling mendukung satu sama lain. Terlebih Nicole Kidman dan Matthew Goode yang menawarkan kualitas akting top performances. Wajah tanpa ekspresi Mia Wasikowska (yang sebetulnya kurang saya sukai) ternyata sangat cocok dengan karakter yang dimainkannya disini. Sempurna dengan tatapan dingin dan tidak bisa ditebak maunya apa. Kehadiran aktris asal Australia, Jacki Weaver (Animal Kingdom), juga patut dipuji karena meski hanya muncul sebentar dalam film ini namun intensitas emosi yang ia tunjukkan menunjukkan kualitasnya sebagai salah seorang aktris yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Akan tetapi, Stoker memang bisa dikatakan adalah film Mia. She is the main key. Chemistry seksual antara India dan Uncle Charlie bisa dibilang sangat elektrik! Luar biasa! Salah satu adegan terbaik dalam film ini terjadi ketika mereka berdua duduk dan bermain piano bersama memainkan alunan musik dari Philip Glass. Believe me, it's 'piano-sex' everyone! Musik yang mengalir di antara mereka bagaikan koneksi penetratif. Wow. Film ini juga menyertakan sebuah scene yang menurut saya one of the best masturbation scene on film. Absurb memang, tapi entahlah menurut saya scene tersebut dieksekusi dengan sangat intens. In a sick way. lol.

Scene akhir film juga menurut saya sangat berseni. Park Chan Wook dan sinematografernya, Chung Chung Hoon, mengambil gambar kiasan dengan sangat detail dan membuat saya menikmati sampai akhir. Dari segi cerita sendiri sebetulnya masih banyak hal janggal yang jadi pertanyaan di benak saya, namun entah kenapa seperti ada sesuatu yang istimewa dari Stoker. Sesuatu yang menempel dalam ingatan saya. Mulai dari gambar-gambar yang disajikan, akting dan ekspresi para pemainnya yang brilian, musik pengiring yang intens, sampai kesadisan yang sebetulnya tidak terlalu sadis secara visual namun mampu membuat saya merinding dalam beberapa scene. Thanks to esensi detail dari sang sutradara, film ini menjadi sebuah karya yang sayang untuk dilewatkan bagi para penikmat film. Jelas ini tidak dapat dinikmati oleh semua orang, tapi tidak ada salahnya menikmati sebuah karya seni yang indah sesekali. :)