June 14, 2011

REVIEW: INSIDIOUS




































"Who are you? What do you want?"

Siap-siap!!! Siap-siap ketakutan menonton film ini. Saran saya, persiapkan jantung anda sebelum menonton Insidious. Haha.. Tapi film ini memang sukses membuat saya ketakutan dan kaget setengah mati. Oke, mungkin tidak se-'lebay' itu, tapi Insidious memang merupakan sebuah kejutan bagi saya. Kenapa? Karena jarang, jarang sekali, Hollywood bisa membuat film horror murni atau oldschool horror yang bagus dan ehmm..menakutkan. Mungkin kalau film bergenre thriller atau psychological horror, Hollywood jagonya. Tapi biasanya kalau yang menyangkut 'setan', 'hantu', 'makhluk gaib', dan 'saudara-saudaranya', jarang bisa digarap film-maker Hollywood dengan taraf yang masuk ke taraf menakutkan. Makanya saya tidak menyangka kalau Insidious bisa sebagus ini. Tidak sempurna memang, tapi seperti yang saya tulis tadi, horror ini made in Hollywood, jadi sudah bagus sekali menurut saya.

Kalau bicara tentang sutradara Insidious, James Wan, ia adalah seorang sutradara kelahiran Malaysia yang memang sudah berkarya di Hollywood sejak tahun 2000. Anda pasti tahu salah satu film karyanya yang fenomenal, Saw (2004). Saw pertama yang ditulis oleh Leigh Whannell sukses besar dan akhirnya melahirnya francise berikutnya (bukan lagi disutradarai Wan) sampai panjang daftarnya. Saya akui kalau Saw pertama merupakan sebuah film yang juga merupakan kejutan, karena sangking surprise dengan kengerian dan kesadisan yang ada didalamnya, apalagi jalan ceritanya juga memang bagus. Setelah itu Wan juga menyutradarai Death Sentence (2007), saya juga suka film ini. Kevin Bacon bermain sangat baik dalam film tersebut. Setelah membaca review singkat tentang James Wan, anda pasti tertarik bukan menonton Insidious? Apalagi Insidious juga ditulis oleh Leigh Whannell, jadi duo dibalik suksesnya Saw kembali reuni dalam Insidious. Saya sudah pasti tidak akan melewatkan film Wan selanjutnya, semoga lebih 'surprise'!

Insidious bercerita tentang sebuah keluarga yang baru saja pindah rumah. Josh (Patrick Wilson) dan Renai Lambert (Rose Byrne) mempunyai dua orang putra, Foster (Andrew Astor) dan Dalton (Ty Simpkins). Rumah baru mereka besar dan nyaman, namun keanehan demi keanehan mulai mereka alami sejak menempati rumah tersebut. Mulai dari mendengar suara-suara menyeramkan, melihat bayangan misterius, sampai ke hal-hal yang semakin lama semakin ekstrim dan intens. Apalagi tiba-tiba anak bungsu mereka, Dalton, terjatuh dan koma. Dokter menyatakan bahwa Dalton tidak menderita penyakit apapun, pihak rumah sakit sampai angkat tangan dengan keadaan Dalton karena memang tidak ditemukan keganjilan apapun dalam tubuhnya. Mereka pun memutuskan untuk pindah rumah. Namun setelah pindah tetap saja mereka diganggu oleh hal-hal yang menyeramkan. Ternyata dengan bantuan paranormal bernama Elise (Lin Shaye) mereka baru mengetahui bahwa bukan rumah mereka lah yang dihantui, melainkan Dalton!

Horror klasik yang diusung Insidious mirip dengan Poltergeist (1982), suara-suara yang ada dalam film ini siap mengagetkan anda. Score film ini mantap sekali, semakin membuat kengerian terasa meskipun sosok-sosok hantunya mungkin tidak seseram hantu buatan Asia. Yang membuat film ini semakin menarik adalah jalan ceritanya yang memang bagus dan membuat bulu kuduk anda merinding. Memang sih saya akui kalau sosok hantu yang ada tidak terlalu seram (tetep serem juga sihhh), tapi entah kenapa saya masih ketakutan saja menonton film ini. Mungkin juga karena ekspektasi rendah saya terhadap film ini yang kemudian membuat saya tidak menyangka kalau filmnya bagus. Tapi bagi saya yang bukan pecinta horror, saya tetap berani mengatakan kalau Insidious adalah salah satu film horror yang digarap dengan sangat baik. Apalagi terdapat juga sentuhan komedi sedikit didalamnya, jadi tidak monoton terus-menerus ditakut-takuti seperti horror lainnya. Tumbs up! Go watch it if you dare! Buat yang sudah nonton, please leave your comment.. :)





REVIEW: BEASTLY




































"You have a year to make someone love you, or stay like this forever."

Beastly adalah sebuah cerita modern dari dongeng klasik 'Beauty and the Beast'. Sayangnya, kalau anda mengharapkan film ini seindah kartun versi Disney, anda akan kecewa. Sebetulnya ketika tahu bahwa kisah si cantik dan si buruk rupa ini akan dibuat versi live-action modern saya agak skeptis, satu hal yang tetap membuat saya penasaran ingin menonton film ini hanya Alex Pettyfer. Hehe.. Namun menurut saya para remaja mungkin masih akan terhibur dengan film ini, karena film ini termasuk ringan apalagi menyangkut cinta-cintaan remaja. Saya sendiri lumayan terhibur dengan adanya deretan soundtrack-nya yang memang bagus-bagus dan tentu saja lelucon Neil Patrick Harris, meskipun itu semua tidak terlalu membantu memberikan poin lebih pada keseluruhan film ini.

Kyle (Alex Pettyfer) adalah seorang pemuda yang tampan, kaya, dan populer, namun ia juga sombong dan banyak mengganggu anak-anak di sekolahnya. Ketika si penyihir, Kendra (Mary-Kate Olsen), merasa tersinggung dengan ejekan dari Kyle, ia akhirnnya menaruh mantra jahat pada Kyle yang membuatnya menjadi buruk rupa. Satu-satunya cara agak ketampanannya kembali seperti semula adalah menemukan cinta sejati dalam waktu satu tahun. Jika Kyle tidak dapat menemukan perempuan yang betul-betul menerima dan mencintainya apa adanya dalam kurun waktu tersebut, ia akan selamanya menjadi buruk rupa.
Ketika sang ayah tahu kalau wajah anaknya menjadi seperti itu dan malu kalau sampai diketahui orang lain akhirnya Kyle diasingkan ke sebuah rumah terpencil bersama seorang guru privat yang buta (Neil Patrick Harris) dan pembantu rumah tersebut (Lisa Gay Hamilton). Secara tidak sengaja ia mulai memperhatikan Lindy (Vanessa Hudgens), teman sekelasnya yang tidak populer. Lindy yang mempunyai masalah keluarga kemudian mulai menarik perhatian Kyle dan perlahan Kyle mulai jatuh cinta padanya. Lindy sebetulnya juga mempunyai perasaan khusus pada Kyle. namun kemudian yang menjadi pertanyaan adalah: apakah Lindy mau menerima Kyle yang buruk rupa seperti sekarang?

Beastly sebetulnya memang dibuat Daniel Barnz sesuai dengan cerita dongengnya, lengkap dengan nuansa modern dan soundtrack anak muda yang 'in'. Namun entah kenapa script film ini sangat biasa. Alex Pettyfer sebagai salah satu aktor yang namanya sedang cemerlang di kancah Hollywood memang bermain lumayan baik dalam film ini, namun sayang tidak adanya chemistry dengan Vanessa Hudgens menjadi masalah utama film ini. Film bergenre romance ini memang semestinya menceritakan sebuah cerita cinta klasik adaptasi dongeng fantasi, namun apa yang dihasilkan Beastly terasa kurang romantis karena tidak adanya chemistry antara pasangan pemeran utamanya itu. Satu hal lagi, Alex Pettyfer didandani jelek seperti itu saja masih tetap terlihat keren tuh! Haha.. Kalau sekedar untuk menonton iseng karena tidak ada lagi film bagus di bioskop atau mau melihat Alex Pettyfer/Vanessa Hudgens di layar lebar yaa tidak masalah, tapi menurut saya nonton di DVD juga sudah cukup. :)





June 7, 2011

REVIEW: SCREAM 4




































“What’s your favourite scary movie?”

Pada tahun 1996, Wes Craven pertama kali membuat Scream dan ternyata menjadi salah satu film thriller yang fenomenal dengan topeng putih panjangnya itu. Setahun kemudian ia membuat Scream 2, namun sayang tidak bisa sebagus yang pertama. Tahun 2000, Craven kembali membuat Scream 3 yang malah lebih hancur lagi dibanding yang sebelumnya. Hampir sebelas tahun sudah terlewati tanpa ada sekuel Scream dari Craven. Namun tahun ini, masih di tangan Wes Craven, Scream 4 kembali muncul dan secara tidak terduga berhasil membuat para fans Scream puas. Memang tidak sebagus yang pertama, tapi ini adalah film Scream yang kualitasnya tepat berada dibawah film pertamanya. Wes Craven tetap setia membawa nuansa ‘Scream’ dalam film ini, rindu para pas sudah pasti akan terobati dengan kehadiran Scream 4 yang memuaskan.

Diceritakan bahwa Sidney Prescott (Neve Campbell) kembali ke kota asalnya di Woodsboro karena sedang ingin mempromosikan buku karangannya. Kedatangannya itu bertepatan dengan peringatan pembunuhan berantai sadis di Woodsboro sepuluh tahun lalu yang kala itu juga berhubungan erat dengan dirinya. Awalnya semua terlihat baik-baik saja, namun tiba-tiba dua remaja terbunuh dengan sadis. Semua semakin buruk ketika keponakan Sidney, Jill (Emma Roberts) dan Kirby (Hayden Panettiere) mendapat ancaman dari telepon misterius. Setelah itu satu persatu pelajar disana mulai terbunuh, hal ini membuat Dewey Riley (David Arquette), Gale Weathers (Courteney Cox), dan Sidney Prescott kembali bersatu mencari dalang dari pembunuhan keji tersebut.

Saya suka sekali dengan opening scene-nya! Menurut saya memang konyol namun sangat menghibur ala Scream. Deretan pemeran utama dalam Scream 4 masih sama seperti dulu, namun para pemeran pendukung bisa dikatakan luar biasa fresh; sebut saja Emma Roberts, Hayden Panettiere, Anna Paquin, Kristen Bell, Marley Shelton, Adam Brody, Lucy Hale, Rory Culkin, Erik Knudsen, Shenae Grimes, dll. Yang paling menarik perhatian adalah Emma Roberts, Hayden Panettiere, dan Rory Culkin. Hayden menurut saya paling baik aktingnya, ada adegan dimana ia menjawab semua pertanyaan si penelepon misterius itu dengan sangat cepat dan jelas, intensitas di mimik wajahnya terlihat sangat emosional. Penampilannya juga sangat berbeda dengan Hayden biasanya. Tumbs up! Rory Culkin juga sukses memerankan nerd. Emma Roberts malah tidak disangka bisa mendapat peran berbeda dalam film ini!

Sejujurnya bagi saya pribadi menganggap film ini biasa-biasa saja, apalagi saya juga merasa kurang puas dengan ending-nya, namun karena saya sudah menonton Scream dari yang pertama sampai yang ketiga kemarin saya memang sudah tahu kalau Scream memang identik seperti itu. Kalau boleh jujur, dialog-dialog dalam film ini termasuk pintar dan banyak menyindir dengan lucu film horror lainnya, maka ini menjadi poin plus lagi bagi Scream 4. Mungkin bagi yang belum pernah menonton Scream sebelumnya akan bilang kalau film ini jelek. Namun seperti yang sudah saya tuliskan di atas, kalau bagi para fans Scream film ini mengobati rasa kangen dan membawa kepuasan tersendiri karena memang film ini jauh sekali lebih baik dibanding yang kedua dan ketiga. Sudah pasti yang pertama lebih baik karena dalam film ini pun ada quote yang mengatakan: “Don’t f*** with the original!”. Hahaha..





REVIEW: LIMITLESS




































“They say we can only access 20% of our brain. This lets you access all of it.”

Limitless ini diangkat dari sebuah novel berjudul ‘The Dark Fields’ karangan seorang penulis asal Irlandia bernama Alan Glynn. Ide cerita yang ditulis Alan ini menurut saya betul-betul menarik. Saya sendiri belum pernah membaca novelnya, namun film yang disutradarai oleh Neil Burger (The Illusionist) ini semenarik ide ceritanya. Terlebih pilihan Bradley Cooper sebagai pemeran utama yang terlihat sangat cocok sekali dan semakin member daya tarik khusus bagi film ini. Pengemasan filmnya sendiri sebetulnya tidak terlalu istimewa, namun harus diakui kalau Limitless memang sangat menghibur dan kembali lagi ke yang saya tuliskan di awal, ide ceritanya juara. Sebuah pil yang bisa membuat kita mengakses otak kita secara optimal, wow, siapa yang tidak mau NZT?

Eddie Morra (Bradley Cooper) adalah seorang penulis asal New York. Ia bukanlah seorang penulis hebat dan mempunyai buku ‘best seller’, Eddie tinggal di sebuah kamar sewaan yang amat berantakan, Ia bahkan belum menuliskan sepatah kata pun untuk buku yang ingin diselesaikannya. Naasnya lagi, Ia juga baru saja diputus oleh sang pacar, Lindy (Abbie Cornish), yang bekerja sebagai seorang editor. Lindy merasa hidup Eddie sudah terlalu berantakan, apalagi Eddie tidak mempunyai penghasilan sama sekali berhubung bukunya tak kunjung selesai. Hidupnya yang berantakan itu juga tercermin dalam penampilan Eddie sehari-hari; rambut gondrong tidak beraturan, gaya pakaian asal-asalan, wajah kusam.

Suatu hari Eddie secara tidak sengaja bertemu dengan mantan adik iparnya dulu, Vernon (Johnny Whitworth). Mereka duduk santai sambil mengobrol dan Eddie menceritakan tentang kebuntuan ide yang sedang dialaminya. Vernon lalu menawarinya sebuah obat bernama NZT yang ia sebut bisa membuat otak manusia yang tadinya hanya bekerja 20% menjadi 100%. Eddie awalnya menolak, namun karena tahu sebutir obat tersebut harganya mahal dan juga ada rasa penasaran, Ia akhirnya meminum obat tersebut. Sesaat setelah meminum NZT, BAMMM – Eddie langsung merasa menjadi pintar seketika. Bahkan bisa dikatakan genius. Semua yang ia pelajari dapat dengan cepat dikuasai, Eddie merasa pengetahuannya menjadi tidak terbatas.

Kegeniusan Eddie membuat berita dengan cepat menyebar, sampai akhirnya seorang pengusaha besar Carl Van Loon (Robert De Niro) mengundang Eddie untuk bertemu dan berniat ingin menjadikannya sebagai asisten guna meraih uang yang lebih banyak lagi. Kehidupan Eddie menjadi sangat berbeda dengan yang sebelumnya; Ia membeli apartemen mewah, mendapatkan Lindy kembali, bahkan menggadakan uangnya terasa sangat mudah dalam bidang pasar modal dengan kegeniusannya itu. Namun disaat semua terasa sangat sempurna bagi Eddie, ia mulai merasakan efek samping yang mematikan dari NZT. Belum lagi banyak orang yang ingin merebut NZT dari tangannya.

Bradley Cooper adalah bintang yang bersinar dalam Limitless. Ia berhasil berperan sebagai Eddie Mora yang urakan, jobless, uring-uringan, Ia juga sangat berhasil memerankan Eddie Mora yang rapi, sukses, genius. Transformasi tersebut diekspresikan oleh Bradley Cooper dengan luar biasa meyakinkan; penonton bisa merasakan rasa percaya diri yang seketika datang dalam diri Eddie ketika ia meminum NZT. Bravo, Bradley! Kehadiran Robert De Niro dan Abbie Cornish juga terasa pas sekali. Kehadiran Limitless membuat kita lega karena masih bisa menonton film bagus dan menghibur di layar lebar Indonesia. Dengan ide cerita dan dialog yang pintar, Limitless tentu saja masuk daftar ‘must-watch’ anda.





June 2, 2011

REVIEW: SOURCE CODE




































“What would you do if you knew you only had one minute to live?”

Setelah istirahat lumayan lama dari kegiatan menulis review di blog dan juga setelah ‘melarikan diri’ selama tiga minggu ke luar kota, akhirnya nafsu menulis saya kembali datang. Bioskop kita memang belum menayangkan film-film Hollywood yang masuk kedalam MPAA, akan tetapi kehadiran Source Code memang seperti angin sejuk dikala film-film kuntilanak berterbaran di layar lebar. Kemalasan meng-update blog sebetulnya juga dikarenakan kekesalan saya dengan keadaan yang sedang terjadi saat ini, semestinya sekarang bioskop lagi ramai dengan antrian sekuel Pirates of the Caribbean, Kung Fu Panda 2, dan The Hangover 2! Belum lagi film-film bagus yang sudah begitu saja terlewatkan seperti I am Number Four dan Fast Five! Saya hanya berharap masalah tersebut bisa cepat mendapatkan jalan keluar supaya kita bisa menonton film yang fresh from the oven lagi. Btw, review Source Code saya kali ini memang lumayan telat, tapi better late than never, right?

Source Code disutradarai oleh Duncan Jones yang sukses dengan debut film indie-nya pada tahun 2009, Moon. Duncan Jones yang juga adalah anak dari musisi terkenal David Bowie sepertinya kali ini kian memantapkan langkahnya sebagai sutradara Hollywood dengan karya terbarunya di tahun 2011. Sepertinya Jones merupakan penggemar berat genre science fiction, karena tidak berbeda dengan film terdahulunya, Source Code juga kurang lebih berada di genre yang sama. Bermodalkan Jake Gylenhaal dan Vera Farmiga yang bermain sangat baik dari film ini, Source Code menjadi sebuah film yang sudah pasti tidak akan membuat para penikmat film sci-fi kecewa.

Kapten Colter Stevens (Jake Gylenhaal) adalah seorang pilot helicopter Angkatan Darat AS yang sedang ditugaskan ke Afganistan. Namun tiba-tiba ia terbangun dan menemukan bahwa dirinya telah menjadi bagian dari percobaan yang dilakukan pemerintah. Ia diminta untuk menyisihkan dulu kebingungannya guna melayani negara dan membantu mencegah bencana. Sebuah bom telah meledak pada pagi itu pada kereta di Chicago dan pembom telah mengancam akan meledakkan bom yang lebih besar lagi di jantung kota. Tidak ada petunjuk siapa yang berada di belakang aksi terorisme ini, sehingga proyek baru dan rahasia yang diberi nama ‘Source Code’ akhirnya diaktifkan.

‘Source Code’ adalah sebuah program yang memungkinkan subjek tes untuk berada pada delapan menit terakhir di kehidupan orang tertentu. Teorinya adalah bahwa setiap orang yang baru meninggal masih memiliki memori jangka pendek yang dapat dieksplorasi dan dikembangkan dalam siklus delapan menit terakhir sebelum kematiannya. Program ini memungkinkan subjek tes untuk menjelajahi dan berinteraksi dengan orang-orang yang berada di sekitar objek, namun itu semua bukanlah realita, bukan juga bayangan, semua terasa nyata ketika dijalani, hanya saja apapun yang terjadi dalam ‘Source Code’ tetap tidak dapat mempengaruhi masa lalu ataupun masa sekarang, subjek tes hanya dapat mencari informasi yang dibutuhkan.

Saya menyukai film ini, akan tetapi memang ada beberapa hal yang terasa kurang logic. Film ini juga tidak menjabarkan secara detail tentang sistem ‘Source Code’ yang dijalankan, mungkin saja itu adalah pilihan terbaik daripada malah membuat penonton pusing nantinya. Saya pribadi tidak terlalu mempermasalahkan tentang logic atau tidaknya film ini, yang pasti nilai orisinalitas menjadi poin utama. Ending film ini juga berhasil membuat penonton bertanya-tanya. Sutradara Duncan Jones sepertinya akan menjadi calon sutradara jenius Hollywood selanjutnya, kita tunggu saja proyek Jones selanjutnya. Begitu juga dengan Jake Gylenhaal yang lagi-lagi meninggalkan kesan mendalam dalam filmnya kali ini, setelah terakhir ia juga bermain sangat baik dalam Love and Other Drugs (2010). Apalagi dapat bonus penampilan Jake yang good-looking! Overall, Source Code sayang untuk dilewatkan begitu saja. Simply recommended!