March 30, 2012

REVIEW: ATM (เออรัก เออเร่อ)


































"You are the only one I don't mind losing to."

Setelah mendengar dan membaca banyak review yang bagus tentang film ini, akhirnya saya memutuskan untuk menonton di Blitzmegaplex. Mereka bilang katanya film ini lucu parah, menurut saya pribadi film ini memang lucu, tapi gak parah. Lucu sih, tapi too much. Saya bukannya baru kali ini koq menonton film romantic comedy buatan Thailand, saya sudah pernah nonton Bangkok Traffic Love Story (2009), Hello Stranger (2010), Crazy Little Thing Called Love (2010), The Little Comedian (2010), dll. Tapi entah kenapa menurut saya unsur komedi di ATM terlalu lebay. Saya tau ciri khas film-film komedi Thailand memang seperti itu tetapi tetap saja menurut saya ATM sedikit berlebihan dibanding film yang lainnya. Ya, ini menurut saya loh.. Intinya sih, tetap menghibur. :)))

Sua (Chantavit Dhanasevi) dan Jib (Preechaya Phongthananikorn) adalah pasangan yang sama saja seperti setiap pasangan di dunia ini, kecuali mereka pacaran secara diam-diam! Ini dikarenakan mereka bekerja di tempat yang sama, dimana kantor mereka melarang adanya hubungan antara sesama pekerja. Ini bukan masalah yang besar sampai mereka memutuskan untuk menikah. Masalahnya? Siapa yang mau mengalah untuk mundur dari pekerjaannya di bank tersebut? Karena tidak ada yang mau mengalah, akhirnya mereka melakukan kompetisi karena disaat bersamaan terjadi masalah pada mesin ATM di daerah Chonburi yang mengeluarkan uang dua kali lipat pada sebuah malam. Bank rugi sekitar 130,000 baht karena kejadian itu. Intinya, siapa yang berhasil menemukan orang-orang yang menarik uang di ATM tersebut dan mengembalikannya pada bank berhak tetap bekerja di bank itu. Kompetisi pun dimulai!

Aaaa..saya suka sekali dengan Chantavit Dhanasevi sejak Hello Stranger! Ganteng, manis, kocak, lucu, muka baik-baik. Memang cocok sekali deh dia main dalam film-film rom-com. Saya sangat menikmati momen menonton ATM karena pemeran utamanya dia, sedikit subjektif yaa jadinya.Hehe.. Tapi yaa film ini memang lucu koq, apalagi kalau ditonton beramai-ramai sama teman-teman. Mungkin karena saya nonton sendiri, jadinya scenes yang mustinya lucu malah jadi 'garing' dan 'jayus'. Well..ini murni kesalahan saya. Haha! Overall, I did enjoy some scenes of the movie since it really makes me laugh, however, I didn't like the flow of the movie.





REVIEW: SAFE HOUSE


































"Remember rule number one: you are responsible for your house guest. I'm your house guest."

Denzel Washington dan Ryan Reynolds dalam satu frame? Sudah pasti saya tonton! Safe House menurut saya adalah sebuah film yang sangat entertaining. Meskipun mungkin dalam segi plot cerita masih ada miss disana-sini, namun tetap saja saya terhibur dengan apa yang saya tonton. Cast dalam film ini terasa sangat pas sekali, keduanya Denzel dan Ryan menyuguhkan performa akting yang meyakinkan. Pacuan adrenalin non-stop dalam Safe House berhasil membuat saya ikut tegang. Memang kalau mau jujur memang sudah tertebak juga kira-kira film ini akan berakhir seperti apa, tapi 'perjalanan' menuju ending disajikan dengan baik sehingga saya pun tidak merasa bosan.

Ryan Reynolds berperan sebagai Matt Weston, seorang agen CIA muda yang bekerja di sebuah rumah aman rahasia milik CIA di Cape Town, Afrika Selatan. Pekerjaan tersebut sangatlah membosankan karena jarang sekali ada 'tamu' yang berkunjung kesana. Weston menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memeriksa dan mengecek kembali perlengkapan lokasi tersebut (makanan, air, kamera, suplai darah, dll), atau yang paling sering...memantulkan bola karet ke dinding. Ia sangat berharap kalau bosnya, David Barlow (Brendan Gleeson), mau mengabulkan permintaannya untuk pindah area ke Paris atau dimanapun selain di Afrika. Paris akan sempurna karena pacarnya berasal dari sana.

Malam Weston yang membosankan tiba-tiba berubah drastis karena kehadiran seorang penjahat kelas kakap, Tobin Frost (Denzel Washington) yang tertangkap di Cape Town dan akhirnya dibawa ke rumah rahasia tersebut untuk di interogasi. Pada saat interogasi tersebut berlangsung, tiba-tiba tempat itu diserang oleh gerombolan pria bersenjata. Ternyata bukan hanya CIA saja yang mengejar Frost. Situasi menegangkan tersebut menjebak Weston untuk berada pada pilihan sulit, kabur dan menjaga Frost tetapi mengancam keamanan dirinya sendiri atau kabur dan tetap hidup.

Action scenes yang disajikan dalam Safe House sangat menarik dan menghibur, mulai dari tembak menembak sampai kejar-kejaran mobil di jalanan yang menegangkan. Poin paling penting adalah akting Ryan Reynolds yang luar biasa bagus dalam film ini. He is a really great actor! Jadi ingat waktu dia di Buried (2010). Hehe.. Lalu film ini juga didukung dengan akting matang dari Denzel Washington. Pas sekali! Safe House menurut saya termasuk sebuah film yang patut untuk ditonton, meskipun tidak terlalu spesial sekali tapi tetap saja anda tidak akan rugi menyaksikan film aksi ini. Go check it out! :)





REVIEW: THE WOMAN IN BLACK


























"Don't go chasing shadows."

Daniel Radcliffe berperan sebagai orang dewasa dalam sebuah film horror? Menarik. Well, at least dia bukan Harry Potter disini. Berawal dari rasa penasaran melihat transformasi Radcliffe tersebut akhirnya saya pun menonton The Woman in Black sewaktu pulang kantor, sendirian pula. Saya pribadi bukanlah pecinta genre horror, namun tetap saja sesekali penasaran juga biarpun nantinya bakal banyak reaksi 'tutup muka pake tangan dan ngintip dari sela-sela jari'. Entah kenapa film yang kata orang-orang lumayan bagus ini menurut saya malah tidak seram sama sekali, hanya kaget-kagetan sepanjang film, itu pun bisa dibilang biasa-biasa saja. Saya masih ingat film horror terakhir yang menurut saya bagus adalah Insidious (2010). Sebetulnya kedua film ini sama-sama mengangkat tema oldschool-horror, akan tetapi The Woman in Black terasa gampang ditebak, membosankan, dan klise.

Seorang pengacara muda, Arthur Kipps (Daniel Radcliffe) yang sedang berjuang untuk hidup dan anak lelakinya sejak kematian istri tercintanya. Ia pun mendapat tugas untuk pergi ke sebuah daerah terpencil untuk melihat sebuah villa besar yang sudah lama tidak ditinggali. Anehnya, masyarakat di daerah tersebut sepertinya tidak bersahabat dan menyuruh Arthur untuk pergi saja dari sana. Arthur yang penasaran malah masuk kedalam rumah tersebut dan akhirnya ia menemukan kejanggalan demi kejanggalan didalamnya. Kejadian-kejadian seram pun terjadi terus menerus di daerah itu sejak kedatangan Arthur, terlebih setelah Arthur melihat sosok seorang wanita berbaju hitam disana. Sudah terlanjur basah, Arthur dan dibantu oleh salah satu orang paling kaya di daerah itu, Daily (Ciaran Hinds), akhirnya memutuskan untuk menguak misteri menyeramkan yang terjadi disana.

Sepanjang film rasanya saya hanya disuguhkan wajah ketakutan Daniel Radcliffe saja. Luar biasa membosankan sekali. Sudah tau villa itu berhantu tetap saja dia masuk, sudah dipesan jangan mengejar bayangan tetap saja dia 'kepo'. Klise! Tapi memang ada beberapa bagian yang berhasil bikin kaget penonton. Tapi apa enaknya kalau cuma kaget-kaget gak penting sepanjang film, iya khan!? Semua ekspresi yang ada dalam film ini sepertinya sangat dibuat-buat supaya 'horror', penonton seperti 'dipaksa' untuk takut. Usaha terus menerus untuk membuat penonton takut datang bertubi-tubi mulai dari sound yang mendadak besar, efek suara, gambar yang gelap, dll. Padahal tidak ada ngeri-ngerinya sama sekali! Satu-satunya yang positif dari film ini menurut saya hanya sinematografinya yang ber-setting Inggris tahun 40-an, dimana segala sesuatunya masih vintage dan terasa 'creepy'. Overall, don't like this movie, the ending just make the movie even worse. Avoid.





REVIEW: MAN ON A LEDGE


































"Today is the day when everything changes."

Man on a Ledge bisa dibilang mengangkat tema yang tidak terlalu orisinil. Seorang pria yang berdiri diujung gedung tinggi, mengancam akan melompat dan bunuh diri guna berusaha mengungkap kebenaran. Mungkin semua juga bisa menebak akhir dari film ini. Sebetulnya plot cerita seperti ini memang selalu berhasil memacu adrenalin penonton untuk ikut seru melihat sang pemeran utama mempertaruhkan nyawa sambil menunggu detik-detik kebenaran terungkap. Contoh, Phone Booth (2002) yang juga mengangkat tema cerita yang kurang lebih hampir sama. Stu Shepard (Collin Farrell) yang tidak bisa meninggalkan kotak telepon umum karena ancaman-ancaman yang diterimanya dan ia harus memutar otak untuk terbebas dari situasi tersebut. Phone Booth merupakan sebuah film dengan tema sederhana namun didukung dengan script yang luar biasa dan akting para pemainnya yang total. Lain halnya dengan Man on a Ledge yang menurut saya sangat miscast dan kurang sekali dari segi script. Scene-scene yang harusnya menegangkan pun terasa biasa-biasa saja. Sampai akhir film sepertinya klimaks yang harusnya ada pun terasa sangat kurang.

Nick Cassidy (Sam Worthington) adalah seorang mantan polisi berstatus narapidana yang sedang menjalankan sebuah misi. Misi tersebut mengharuskannya untuk berada di garis pinggir Hotel Roosevelt di Manhattan. Dengan melakukan misi ini ia berharap dapat membuktikan kalau tuduhan yang diberikan kepadanya itu tidak benar, ia ingin membuktikan kepada dunia kalau dirinya tidak bersalah. Semua ini berhubungan dengan David Englanger (Ed Harris), seorang pebisnis yang sukses. Ia menuduh Nick mencuri sebongkah berlian miliknya. Nick yang tidak terima dirinya dipenjara atas kesalahan yang tidak pernah dibuatnya pun akhirnya merancang sebuah misi dimana ia dipaksa untuk berada di situasi mengancam. Dibantu adiknya, Joey Cassidy (Jamie Bell) dan pacar sang adik, Angie (Genesis Rodriguez), akhirnya misi tersebut pun dijalankan. Seorang polisi bernama Lydia Mercer (Elizabeth Banks) yang percaya dengan instingnya bahwa Nick tidak bersalah juga membantu mengeluarkan Nick dari situasi tegang itu.

Titik lemah dari film ini adalah ceritanya. Plot cerita yang lemah itu sayangnya tidak dibantu dengan akting yang baik dari para pemainnya. Bahkan, seperti yang sudah saya sebut diatas, miscast. Entah kenapa hampir semua karakter yang diperankan oleh aktor dan aktris yang terpilih dalam film ini terasa kurang pas. Sam Worthington menurut saya pribadi sangat tidak cocok memerankan karakter Nick Cassidy. Elizabeth Banks apalagi, lumayan mengganggu juga melihat aktingnya sebagai karakter Lydia Mercer, tidak meyakinkan. Belum lagi Genesis Rodriguez yang sepanjang film terasa over-acting sekali. Akan tetapi mungkin para pria tentu saja akan terhibur dengan kehadiran Rodriguez yang latina cantik itu. Overall, Man on a Ledge bukanlah sebuah film yang sangat buruk, akan tetapi saya bisa memastikan kalau film ini tidak akan memorable. Maklum, mungkin juga karena ini merupakan film perdana dari sutradara Asger Leth. Saya pribadi ketika menonton film ini rasanya geregetan sekali, ingin rasanya mendorong Nick untuk buru-buru lompat saja kebawah gedung, the end. Haha..