August 9, 2014

REVIEW: THE FAULT IN OUR STARS

"Okay? Okay."

Kalau berbicara tentang buku karangan John Green berjudul The Fault in Our Stars, ada begitu banyak yang saya suka dalam buku ini. Ada begitu banyak elemen, dialog, dan momen yang menyentuh hati pembacanya. Tidak heran kalau buku ini menjadi best seller dan berhasil mengumpul banyak fans dari seluruh penjuru dunia. Seriously, no spoiler but this book brought me to tears. Ketika saya dengar kalau buku ini akan diangkat menjadi sebuah film tentu saja saya senang namun jujur saya tidak memiliki ekspektasi yang tinggi. Sudah begitu banyak buku best seller yang diangkat menjadi film namun hasilnya biasanya lebih cenderung ke arah 'disaster'. Contohnya novel remaja best seller Twilight yang bukunya menurut saya sangat bagus namun all the movies are crap not good. Namun ada juga contoh yang melampui batas ekspektasi saya dari novel yang diangkat menjadi film, it is one of my favourite book, The Perks of Being a Wallflower. Film yang juga disutradarai oleh si penulis novel sendiri, Stephen Chbosky, rupanya membuktikan bahwa bisa saja sebuah novel diangkat menjadi sebuah film dengan eksekusi yang baik tanpa menghilangkan esensi dari novel tersebut. Salah satu kunci utama dalam menghidupkan novel menjadi sebuah film adalah pemilihan cast, The Fault in Our Stars terbilang sukses dalam hal ini.

Hazel Grace Lancaster (Shailene Woodley) is dying. Thyroid cancer. Ia tidak bisa lepas tabung oksigen yang ia bawa kemanapun dan kanula yang senantiasa menempel pada lubang hidungnya guna membantu mengalirkan udara ke paru-paru guna membantunya agar bisa bernapas layaknya manusia 'sehat'. Ayah dan ibunya sangat suportif, terutama sang ibu yang seolah seperti tidak perduli lagi tentang dirinya sendiri dan mendedikasikan waktunya untuk merawat Hazel. Untuk ukurang seorang remaja berusia 16 tahun, Hazel termasuk seorang yang cerdas. Ia senang membaca dan mempunyai salah satu buku favorit yang sudah ia baca berulang-ulang kali karangan Peter Van Houten (Willem Dafoe). Hazel sudah menderita kanker sejak kecil, mungkin ini yang membuatnya agak sinis dalam memandang hidup, bisa dikatakan lebih cenderung kearah pesimis. Ia hanya menjalani hari demi hari yang monoton dan tidak ada spirit untuk menikmati hidup lagi.

Namun ketika sang ibu memaksanya untuk bergabung dalam support group khusus remaja penderita kanker, Hazel tidak sadar kalau caranya memandang hidup akan berubah. Ia yang tadinya sangat terpaksa mengikuti komunitas ini hanya karena tidak ingin mengecewakan sang ibu akhirnya bersemangat setelah ia berkenalan dengan Augustus Walter (Ansel Elgort). Dari awal bertemu Gus sudah menggoda Hazel yang menurutnya sangat cantik. Mereka pun cepat akrab dan tentu saja ...jatuh cinta. Petualangan pun tentu saja ada di depan mereka, salah satunya adalah perjalanan ke Amsterdam untuk bertemu dengan penulis favorit Hazel, Peter Van Houten. Seiring dengan waktu yang berlalu, pasangan yang bertemu di komunitas kanker ini tentu sadar bahwa mereka mungkin tidak punya waktu lama untuk bersama dan harus siap apabila salah seorang dari mereka harus meninggalkan satu sama lain.

Dari segi cerita sejujurnya ini sangat predictable. Namun hal ini berbeda ketika saya membaca bukunya, saya sama sekali tidak menyangka bahwa endingnya akan seperti ini. Barangkali eksekusi dalam film tidak mudah karena ada banyak details dalam buku yang tidak disajikan di filmnya. Atau mungkin juga karena saya sudah membaca bukunya, jadi saya sudah tau jalan cerita dan endingnya, jadinya saya seperti tidak terlalu surprise ketika sampai di ending. Bahkan saya tidak menangis pada saat menonton, namun tentu saja saya mendengar para wanita barisan belakang, kiri, kanan, kompak menitikkan air mata. However, untuk ukuran film yang diangkat dari novel laris menurut saya The Fault in Our Stars merupakan film yang at least bukan 'disaster'. Saya sangat suka soundtrack dalam film ini, kudos to that! You can hear Ed Sheeran, Jake Bugg, Grouplove, Birdy, Kodaline, Tom Odell, Lykke Li, M83, and many more.

Chemistry antara Shailene dan Ansel patut dapat dua jempol. Agak aneh sebetulnya melihat mereka disini jadi couple setelah sebelumnya menjadi kakak beradik dalam Divergent (2014). Akting Ansel dalam film sebetulnya menurut saya agak sedikit theatrical, namun apa yang saya bayangkan ketika membaca bukunya cocok dengan karakter yang dibawakan Ansel, great choice! Begitu juga dengan Shailene yang memerankan Hazel, the character really suits her. Oh and Nat Wolff as Isaac! Seperti yang saya bilang di awal, cast sangat penting dalam adaptasi sebuah novel dan menurut saya Shailene Woodley dan Ansel Elgort adalah pilihan yang tepat dalam kasus ini. Jadi apakah The Fault in Our Stars adalah sebuah film yang luar biasa dan akan masuk kedalam jajaran best romantic film kedepannya? Nope. Banyak hal janggal dan jujur ini bukanlah sebuah film yang sempurna, akan tetapi apabila pertanyaannya apakah film ini enjoyable? Yes. I enjoyed watching this movie dan saya yakin banyak yang tersentuh menonton film ini. Not a bad movie at all. :)







+ komentar + 1 komentar

December 28, 2014 at 6:54 AM

Saya lebih suka bukunya daripada filmnya

Terimakasih Catatan Harian atas Komentarnya di REVIEW: THE FAULT IN OUR STARS

Post a Comment