August 11, 2014

REVIEW: GUARDIANS OF THE GALAXY

"They call themselves the Guardians of the Galaxy. What a bunch of a-holes."

Reaksi saya ketika pertama kali menonton trailer Guardians of the Galaxy? Boom!! Saya harus nonton film ini!! Trailernya terlihat sangat fun apalagi dengan kehadiran makhluk-makhluk aneh seperti raccoon dan si manusia pohon. Film ini diangkat dari salah satu komik best seller dari Marvel, saya sendiri belum pernah dengar tentang komik ini sebelumnya. Maklum bukan pecinta komik hehe.. Beruntung saya bisa menyaksikan film ini di Malaysia dua minggu lebih cepat daripada penayangannya di Indonesia tanggal 20 Agustus mendatang. Andddd..I loved it! It was a super fun experience in the cinema. Banyak adegan yang dijamin akan membuat penonton tertawa sangking konyolnya, seimbang dengan adegan action yang juga tidak kalah seru. Satu hal yang mencolok dari film ini adalah kehadiran lagu-lagu nostalgia yang tentunya menjadikan film ini lebih unik dibanding film superhero yang belakangan bertebaran di bioskop. You can even find a dancing scene here! Music and dance in a superhero movie? HELL YEAH.

Seorang bocah diculik dari Bumi menggunakan sebuah kapal luar angkasa dan dibawa ke sebuah planet yang jauh. Ia lalu tumbuh menjadi seorang pemuda yang kerjanya adalah seorang 'pemulung' dan menyebut dirinya sebagai Star Lord (Chris Pratt). Kegiatannya sehari-hari adalah berkeliling dengan kapal luar angkasanya dan menjadi benda yang bisa ia curi dan ia jual. Suatu hari ia menemukan sebuah bola dan sejak saat itu ia pun dikejar-kejar oleh banyak pihak sampai pada akhirnya ia dijebloskan kedalam penjara dan bertemu orang-orang yang nanti akan menjadi rekannya. Mereka adalah seekor raccoon bernama Rocket (Bradley Cooper), sidekick Rocket yang adalah sebuah manusia pohon bernama Groot (Vin Diesel), Drax the Destroyer (Dave Batista), dan Gamora (Zoe Saldana) yang adalah seorang pembunuh. Mereka berlima lalu berkerja sama untuk melarikan diri dari penjara dan berencana untuk mengamankan bola yang ternyata sangat berbahaya apabila jatuh ditangan pihak yang salah. Petualangan pun dimulai dan mereka menyebut diri mereka Guardians of the Galaxy!

Plot film ini sebetulnya tidak terlalu spesial. Sekelompok orang dipaksa untuk bergabung menjadi sebuah tim lalu yang pada awalnya saling tidak suka namun seiring berjalan waktu menjadi solid. Klise memang dan mudah ditebak ujungnya akan seperti apa. Namun dari trailer saja sebetulnya kita sudah bisa lihat bahwa Guardians of the Galaxy memang tidak sok serius dan ingin menjadi sebuah film superhero yang ringan dan konyol. Jalan cerita yang tidak terlalu rumit tentu bisa dinikmati oleh sebagian besar penonton. Dengan rumus formula plot yang sederhana, Marvel berhasil menyajikan sebuah tontonan yang super fun dan tentunya akan ditunggu kehadiran sekuelnya segera oleh para fans.

For me the characters make this film. Masing-masing karakter mempunyai kepribadian yang berbeda-beda dan dengan mudah membuat penonton menyukai semua dari mereka. You can easily relate to these characters. Pertama, ada Star Lord yang diperankan Chris Pratt. Sepertinya Chris Pratt perlahan tapi pasti akan menjadi calon aktor favorit saya. Ia dapat dengan mudah memerankan karakter konyol dengan banyolan yang natural namun juga bisa seketika menjadi serius dan menyajikan action bringas. Karakter Star Lord sendiri sepertinya agak mirip dengan karakter Han Solo yang tidak sempurna dan sedikit nakal namun penonton tetap suka. Thumbs up untuk Chris Pratt yang berhasil menurunkan sekitar 36kg untuk film ini! Tetapi karakter favorit saya adalah Rocket!!! He is a total badass dan Bradley Cooper berhasil mengisi suara dengan sangat baik. He is quick witted, crazy with gun, and is a lot of fun to watch! I mean, who doesn't love a talking raccoon who swears and carries a loaded gun? Karakter Groot yang hanya berbicara satu kalimat saja juga dijamin mendapat tempat di hati para penonton, "I am Groot". Begitu juga dengan Gamora dan Drax.

Intinya, ini adalah film superhero yang sangat seru. It made me laugh and I got emotionally connected to the characters. Karakter yang ada dalam film ini adalah poin utama yang dijual, Chris Pratt dan teman-temannya membuat film ini sukses besar. Mereka semua berbeda, penuh dengan kepribadian, dan penonton dibuat benar-benar relate dengan karakternya di sepanjang film. Every characters steals the show! Pretty sure this movie is going to be one of the most entertaining movie this year! Thank you Marvel Studios. :)






August 9, 2014

REVIEW: INTO THE STORM

"There is no calm before the storm."

Disaster movie is always fun to watch, tapi perlu diakui tidak sedikit yang berakhir menjadi sebuah disaster juga. Saya memutuskan menonton Into The Storm karena trailernya terlihat sangat menarik dan sepertinya layak untuk ditonton. Tidak memiliki ekspektasi yang tinggi akhirnya saya pun nonton film ini sendiri, di Malaysia pula. Perlu diketahui bahwa bioskop di Malaysia ini super duper dingin. Gak penting. Hehe.. Anyway, I ended up enjoyed this movie. It was better than I expected to be. Not a great movie, but the tornado scenes are worth seeing. Hal yang paling membuat film ini gagal sebetulnya plot cerita yang bolong sana sini, terlalu predictable, dan tidak menarik. Sepertinya memang tujuan jualannya hanya efek tornado dan sebetulnya efek-efek dasyatnya kebanyakan sudah dipamerkan dalam trailer.

Kota Silverton diberitakan akan dilanda tornado yang datang bertubi-tubi. Ini bukan tornado biasa melainkan tornado yang sangat jarang ditemui dan memiliki daya luar biasa yang dapat menghancurkan segala sesuatu yang ada dalam sekejap. Seorang pembuat film dokumenter khusus tornado, Pete (Matt Walsh) dan meteorologist Allison (Sarah Wayne Callies) bersama kru pun turun ke lapangan untuk mendapatkan momen spektakuler yang jarang terjadi ini. Di pihak lain, Gary (Richard Armitage) seorang guru yang sedang sibuk dengan acara graduation di sekolahnya terpisah dari salah satu putranya, Donnie (Max Deacon). Bersama putra keduanya, Trey (Nathan Kress), mereka pun berusaha mencari Donnie di tengah hantaman tornado.

Overall, this movie was just okay. Seperti yang sudah saya sebutkan, efek tornado dalam film ini sangat epic. Apalagi ketika tornado bercampur api berputar-putar diudara dan menghancurkan sekitarnya. Thumbs up! Namun ya itu tadi, dari awal kita sepertinya sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. Tidak ada twist yang disajikan. Karakter-karakter yang ada dalam film ini pun sepertinya 'ngambang', penonton tidak dibuat yakin oleh semua karakter yang ada dalam film ini. Intinya menurut saya, Into The Storm akan jadi tontonnya yang lumayan menghibur penonton, namun sebulan kemudian mungkin penonton sudah lupa bahwa mereka pernah menonton film ini. Watch it or skip it, it's up to you.







REVIEW: THE FAULT IN OUR STARS

"Okay? Okay."

Kalau berbicara tentang buku karangan John Green berjudul The Fault in Our Stars, ada begitu banyak yang saya suka dalam buku ini. Ada begitu banyak elemen, dialog, dan momen yang menyentuh hati pembacanya. Tidak heran kalau buku ini menjadi best seller dan berhasil mengumpul banyak fans dari seluruh penjuru dunia. Seriously, no spoiler but this book brought me to tears. Ketika saya dengar kalau buku ini akan diangkat menjadi sebuah film tentu saja saya senang namun jujur saya tidak memiliki ekspektasi yang tinggi. Sudah begitu banyak buku best seller yang diangkat menjadi film namun hasilnya biasanya lebih cenderung ke arah 'disaster'. Contohnya novel remaja best seller Twilight yang bukunya menurut saya sangat bagus namun all the movies are crap not good. Namun ada juga contoh yang melampui batas ekspektasi saya dari novel yang diangkat menjadi film, it is one of my favourite book, The Perks of Being a Wallflower. Film yang juga disutradarai oleh si penulis novel sendiri, Stephen Chbosky, rupanya membuktikan bahwa bisa saja sebuah novel diangkat menjadi sebuah film dengan eksekusi yang baik tanpa menghilangkan esensi dari novel tersebut. Salah satu kunci utama dalam menghidupkan novel menjadi sebuah film adalah pemilihan cast, The Fault in Our Stars terbilang sukses dalam hal ini.

Hazel Grace Lancaster (Shailene Woodley) is dying. Thyroid cancer. Ia tidak bisa lepas tabung oksigen yang ia bawa kemanapun dan kanula yang senantiasa menempel pada lubang hidungnya guna membantu mengalirkan udara ke paru-paru guna membantunya agar bisa bernapas layaknya manusia 'sehat'. Ayah dan ibunya sangat suportif, terutama sang ibu yang seolah seperti tidak perduli lagi tentang dirinya sendiri dan mendedikasikan waktunya untuk merawat Hazel. Untuk ukurang seorang remaja berusia 16 tahun, Hazel termasuk seorang yang cerdas. Ia senang membaca dan mempunyai salah satu buku favorit yang sudah ia baca berulang-ulang kali karangan Peter Van Houten (Willem Dafoe). Hazel sudah menderita kanker sejak kecil, mungkin ini yang membuatnya agak sinis dalam memandang hidup, bisa dikatakan lebih cenderung kearah pesimis. Ia hanya menjalani hari demi hari yang monoton dan tidak ada spirit untuk menikmati hidup lagi.

Namun ketika sang ibu memaksanya untuk bergabung dalam support group khusus remaja penderita kanker, Hazel tidak sadar kalau caranya memandang hidup akan berubah. Ia yang tadinya sangat terpaksa mengikuti komunitas ini hanya karena tidak ingin mengecewakan sang ibu akhirnya bersemangat setelah ia berkenalan dengan Augustus Walter (Ansel Elgort). Dari awal bertemu Gus sudah menggoda Hazel yang menurutnya sangat cantik. Mereka pun cepat akrab dan tentu saja ...jatuh cinta. Petualangan pun tentu saja ada di depan mereka, salah satunya adalah perjalanan ke Amsterdam untuk bertemu dengan penulis favorit Hazel, Peter Van Houten. Seiring dengan waktu yang berlalu, pasangan yang bertemu di komunitas kanker ini tentu sadar bahwa mereka mungkin tidak punya waktu lama untuk bersama dan harus siap apabila salah seorang dari mereka harus meninggalkan satu sama lain.

Dari segi cerita sejujurnya ini sangat predictable. Namun hal ini berbeda ketika saya membaca bukunya, saya sama sekali tidak menyangka bahwa endingnya akan seperti ini. Barangkali eksekusi dalam film tidak mudah karena ada banyak details dalam buku yang tidak disajikan di filmnya. Atau mungkin juga karena saya sudah membaca bukunya, jadi saya sudah tau jalan cerita dan endingnya, jadinya saya seperti tidak terlalu surprise ketika sampai di ending. Bahkan saya tidak menangis pada saat menonton, namun tentu saja saya mendengar para wanita barisan belakang, kiri, kanan, kompak menitikkan air mata. However, untuk ukuran film yang diangkat dari novel laris menurut saya The Fault in Our Stars merupakan film yang at least bukan 'disaster'. Saya sangat suka soundtrack dalam film ini, kudos to that! You can hear Ed Sheeran, Jake Bugg, Grouplove, Birdy, Kodaline, Tom Odell, Lykke Li, M83, and many more.

Chemistry antara Shailene dan Ansel patut dapat dua jempol. Agak aneh sebetulnya melihat mereka disini jadi couple setelah sebelumnya menjadi kakak beradik dalam Divergent (2014). Akting Ansel dalam film sebetulnya menurut saya agak sedikit theatrical, namun apa yang saya bayangkan ketika membaca bukunya cocok dengan karakter yang dibawakan Ansel, great choice! Begitu juga dengan Shailene yang memerankan Hazel, the character really suits her. Oh and Nat Wolff as Isaac! Seperti yang saya bilang di awal, cast sangat penting dalam adaptasi sebuah novel dan menurut saya Shailene Woodley dan Ansel Elgort adalah pilihan yang tepat dalam kasus ini. Jadi apakah The Fault in Our Stars adalah sebuah film yang luar biasa dan akan masuk kedalam jajaran best romantic film kedepannya? Nope. Banyak hal janggal dan jujur ini bukanlah sebuah film yang sempurna, akan tetapi apabila pertanyaannya apakah film ini enjoyable? Yes. I enjoyed watching this movie dan saya yakin banyak yang tersentuh menonton film ini. Not a bad movie at all. :)