October 29, 2011

REVIEW: MIDNIGHT IN PARIS




































"Nostalgia is denial - denial of the painful present."

Siapa yang tidak suka dengan kota Paris? Siapa juga yang tidak suka berfantasi? Kalau suka dengan keduanya, berarti Midnight in Paris adalah tontonan yang pasti akan menghibur anda. Saya bisa dibilang lumayan nge-fans dengan Woody Allen, meskipun tidak semua filmnya bagus dan sukses di pasaran. Tapi ada benang merah dari setiap film-film Woody yang sangat saya sukai, dialog-dialog 'pintar' khas Woody Allen lah yang selalu saya nantikan. Tiga besar film Woody yang paling saya suka adalah Annie Hall (1977), Match Point (2005), dan Vicky Cristina Barcelona (2009). Setelah menonton film terbarunya Midnight in Paris, list tiga besar tersebut pastinya akan bergeser, karena saya suka sekali dengan film ini! Saya suka dengan ide nostalgia yang diangkat Woody, belum lagi saya yang memang sangat jatuh cinta dengan kota Paris yang katanya paling romantis ini langsung terhipnotis sepanjang film oleh setting-an kota Paris yang berusaha ditonjolkan Woody. Film ini juga terasa sedikit berbeda dari film-film Woody Allen sebelumnya, but in a good way though. Buktinya Midnight in Paris sukses menjadi tontonan pembuka di Festival Cannes tahun ini dan lumayan sukses secara finansial.

Gil (Owen Wilson) dan Inez (Rachel McAdams) adalah sepasang kekasih yang sedang berlibur ke Paris sekaligus menemani orang tua Inez mengurus bisnis mereka disana. Gil adalah seorangscreenwriter Hollywood yang sukses, namun ia sedang berkutat dengan novel perdana yang menjadi impiannya. Gil selalu menyukai kota Paris, ia menganggap kalau Paris adalah kota yang tepat untuk seniman seperti dirinya. Bahkan, ia memiliki impian untuk tinggal di Paris setelah ia menikah nanti. Ia bahkan tidak keberatan berjalankaki di kota itu pada saat hujan, bahkan Gil merasa itulah saat-saat terbaik yang dinantikannya. Gil juga punya pemikiran bahwa pada masa1920-an pasti sangat asik apabila hidup dan tinggal di Paris, itu merupakan 'golden age' versi Gil.

Suatu malam pada saat Inez pergi ke club dengan teman-temannya, Gil lebih memilih untuk berjalan kaki di sepanjang jalanan Paris menuju hotelnya. Tepat tengah malam, ada sebuah mobil yang berhenti dan mengajaknya untuk bergabung. Tanpa pikir panjang Gil pun ikut dengan orang-orang yang tidak dikenalnya itu. Ketika tiba di sebuah pesta, Gil mengamati keadaan sekitar. Terlihat suasana vintage yang sangat kental, dengan gaya busana dan tata rambut seperti jaman dulu. Namun yang membuat Gil kaget setengah mati adalah ketika ia disana berkenalan dengan nama-nama besar seperti Ernest Hemingway (Corey Stoll), F. Scott Fitzgerald (Tom Hiddleston), Zelda Fitzgerald (Alison Pill), Cole Porter (Yves Heck), Pablo Picasso (Marcial Di Fonzo Bo), Salvator Dali (Adrien Brody), dll. Gil seperti kembali ke masa lalu, masa yang sangat ia impikan. Sejak hari itu, setiap tengah malam ia selalu bertemu dengan 'teman-teman' nostalgianya. Curhat dengan Fitzgerald, berkonsultasi tentang novel dengan Hemingway, mendapat petuah hidup dari Dali, sampai melihat langsung Picasso melukis.

Saya menonton Midnight in Paris tanpa mengetahui jalan ceritanya sama sekali. Saya belum membaca sinopsis dan tidak memiliki bayangan apapun tentang isi film ini. Terus terang saya tertarik sekali dengan judul dan posternya, namun entah mungkin karena pemeran utamanya adalah Owen Wilson, saya kurang begitu tertarik. Namun ternyata perlu saya akui kalau Owen Wilson adalah pilihan yang tepat sebagai Gil, ia membawakan karakter Gil dengan sangat natural. Minggu lalu saya memutuskan untuk mencoba menonton film ini karena faktor 'Paris' yang membuat penasaran dan nama besar Woody Allen disana. Olala..ternyata saya sangat menyukai ide cerita yang diangkat Woody dalam film ini! Terkadang nostalgia memang membawa perasaan menyenangkan tersendiri. Melihat karakter Gil yang sedang bernostalgia ke masa-masa golden age-nya, saya sepertinya juga merasa excited sendiri. Ada sisi menggelitik tersendiri ketika melihat karakter-karakter besar seperti Hemingway, Fitzgerald, Dali, Picasso, Porter, dll 'dihidupkan' kembali.

Kehadiran nama-nama yang sudar familiar di daftar pemeran pendukung juga membuat film ini semakin menarik. Marion Cotillard juga sukses mencuri perhatian dalam film ini. She is so-super-duper pretty! Latar belakang kota Paris dengan bentuk bangunan-bangunan yang menurut saya romantis itu sangat pas dengan tema nostalgia, apalagi didukung dengan pilihan-pilihan soundtrack yang sempurna. Saya juga suka dengan ending yang dipilih oleh Woody. Saya merasa kalau pada ujungnya nanti, dalam situasi apapun yang sedang kita alami, kita memang harus mengikuti kata hati (but use a little bit of your brain too, of course!). Semua ilusi atau apapun yang sedang dialami oleh karakter Gil sebenarnya merupakan jeritan hatinya selama ini, fantasi yang dijalaninya beberapa waktu terakhir di Paris menurut saya adalah refleksi dan komunikasi yang sedang berusaha ia keluarkan. Dengan berfantasi seperti itu Gil mendapatkan ketenangan dan kehadiran tokoh-tokoh favoritnya itu juga membuatnya lebih percaya diri dengan keputusan yang akan diambilnya. Midnight in Paris adalah salah satu film favorit saya tahun ini! VoilĂ ! :) Ngomong-ngomong kapan yaa saya bisa berkunjung ke kota Paris? Hmm.. *ngarep* hahahaha..





October 22, 2011

REVIEW: FRIENDS WITH BENEFITS





































"Men and women can't be friends."

Belum lama rasanya saya menonton No Strings Attached yang diperankan oleh Ashton Kutcher dan Natalie Portman, kali ini masih pada tahun yang sama hadir lagi satu film dengan tema serupa, Friends with Benefits. Sang sutradara, Will Gluck, tahun 2010 lalu berhasil menyutradarai Easy A yang membuat akting Emma Stone dalam film tersebut mendapat pujian sana sini. Rasa penasaran lah yang membuat keinginan untuk segera menonton Friends with Benefit, apalagi Justin Timberlake dan Mila Kunis terlibat cinta lokasi dalam proses syuting film ini. Saya jadi tidak sabar melihat bagaimana chemistry yang dihasilkan. Tema filmnya sendiri memang tidak istimewa, bisa dibilang pasaran. Selain No Strings Attached, film tahun 1989 When Harry Met Sally juga membawa tema serupa dan sampai sekarang menurut saya film itu lah yang paling baik, salah satu film favorit saya!

Dylan (Justin Timberlake) adalah seorang editor yang baru saja pindah kerja ke New York. Di kota besar itu ia bertemu dengan Jamie (Mila Kunis) yang membantunya mendapatkan pekerjaan di salah satu media ternama disana. Keduanya baru saja putus cinta dan dalam waktu sekejap mereka sudah akrab dan menjadi teman baik. Akan tetapi karena memang dasarnya berbeda jenis kelamin, mereka sepakat untuk melangkah lebih jauh dari hubungan pertemanan yang sedang dijalin tersebut. Keduanya merasa sama-sama tertarik secara fisik satu sama lain, maka menurut mereka tidak ada salahnya mereka berhubungan sex tanpa menjalin hubungan asmara, hanya murni pertemanan saja. Kelanjutannya tanpa perlu saya spoiler panjang lebar disini pun pasti semua sudah bisa menduga-duga endingnya akan berujung seperti apa.

Klise memang, akan tetapi menurut saya Friends with Benefits lumayan sukses menghibur. Akting Justin Timberlake dan Mila Kunis disini bisa dibilang terlihat alami, lagipula adegan ranjang yang mereka lakoni juga terlihat alami. Seperti yang sudah diduga, chemistry yang terjalin antara mereka sangat terasa. Beberapa cameo ternama juga ikut memeriahkan film ini seperti Woody Harrelson, Richard Jenkins, Emma Stone, dll. Secara keseluruhan saya lumayan menyukai film ini, tidak sampai istimewa sekali, mungkin tidak akan saya ingat dalam jangka waktu yang lama. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri juga kalau Friends with Benefits termasuk sebuah tontonan romcom yang sangat menghibur. Dialog-dialog 'cerdas' sepanjang film lumayan membuat penonton tersenyum. Satu hal lagi yang menonjol dari film ini adalah sisi modern yang ditonjolkan didalamnya, termasuk adegan-adegan yang lumayan vulgar, jadi jangan ajak adik yang masih dibawah umur untuk menonton film ini. Overall, I didn't love the film - but I liked and enjoyed it! :)